Mutohharun Jinan
Pusat Studi Budaya
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Jl. A. Yani Pabelan
Tromol Pos I Kartasura, Surakarta
57102
Abstrak
Secara
artifisial, gerakan pemurnian Islam berupaya melakukan pencarian terhadap
kemurnian ajaran Islam. Terdapat dua tema pokok yang tampak dalam gerakan
purifikasi itu: Pertama, sumber ajaran Islam (Al-Qur'an dan Sunnah) menjadi
obyek garapan yang sangat penting untuk dikembalikan sebagai rujukan utama
dalam kehidupan beragama. Ini berarti bahwa kehidupan beragama semakin dekat
menuju ke arah “established Islam” dari pada “popular Islam”. Kedua, semangat
kebebasan individual untuk memanfaatkan akal pikiran dengan segala
konsekuensinya menjadi semakin tinggi. Hal ini mutlak diperlukan bagi usaha
dinamisasi ajaran Islam. Dalam perkembangannya purifikasi ini tidak hanya
ditujukan untuk menghilangkan tahayul, bid 'ah, dan khurafat. Upaya purifikasi
dalam perkembangan Islam kontemporer terkait dengan berbagai wacana global,
seperti terorisme, moderatisme, islamic local knowledge, dan gerakan
fundamentalisme-radikal.
Kata kunci: Dilema, Pemurnian Islam, Doktrinal, Sosiologis, Kontemporer.
Pendahuluan
Kolonialisme Barat terhadap dunia
Islam yang berkepanjangan menyebabkan kehidupan kaum Muslim di permukaan bumi
tercabik-cabik. Kehidupan mereka terhiasi formalisme keberagamaan, kehidupan
mistik yang tidak sehat, tahayul menggantikan sikap orisinal Islam yang
kreatif, lenyapnya daya kritis dan keimanan terdesak menjadi ortodoksi yang sempit.
Situasi demikian meniscayakan umat Islam
untuk mencari “sesuatu” sebagai tempat menggantungkan harapan untuk mendapatkan
rasa aman. Sebagian besar umat memilih untuk mengingat kembali masa lalu Islam
yang gemilang. Masa kesempuranaan Islam yang telah menyejarah, yakni pada masa
Rasulullah dan para sahabat, zaman di mana Islam masih berada dalam wilayah
yang masih terbatas. Islam dalam ruang dan waktu demikian didefinisikan sebagai
ideal, murni atau autentik. Islam autentik (al-ashalah)
telah lama hilang dari masyarakat muslim, baik disebabkan kelalaian maupun oleh
karena “sengaja dicuri” orang lain (Issa J. Boulatta, 2000: 19-20). Oleh karena
itu, umat Islam memandang perlu mencari autentisitas Islam supaya umat Islam
mendapatkan kembali keemasannya.
Di Indonesia gerakan-gerakan Islam puritan
sering kali dinisbahkan pada gerakan Paderi di Sumatra pada awal abad ke-19 dan
kemudian diikuti oleh trio pembaharu pada awal abad ke-20, yaitu Muhammadiyah,
Al-Irsyad, dan Persatuan Islam. Perbedaan penampilan dan sasaran garapan ketiga
gerakan itu, tidak menghalangi kita untuk menarik suatu benang merah yang
menjadi ciri utama dari gerakan-gerakan purifikasi. Benang merah itu ialah
perlawanannya terhadap tradisi dan kepercayaan masyarakat yang koruptif dan
menyimpang, serta seruannya untuk kembali kepada ajaran yang murni (Syafiq A.
Mughni, 2001: 5).
Para puritan menampilkan
tema-tema yang menjadi acuan gerakan purifikasi. Di antara tema-tema itu ialah:
pertama, bahwa korupsi keagamaan (bid'ah)
telah melanda umat sehingga agama yang mereka anut bukan merupakan Islam yang
benar dan murni; kedua, korupsi itu mungkin terjadi akibat
penyalahgunaan kekuasaan tokoh-tokoh agama atau akibat pengaruh-pengaruh
non-Islam yang secara tidak sengaja mempengaruhi pikiran umat Islam; ketiga,
sebagai jalan keluar dari keadaan itu, Islam harus dibersihkan dari semua
korupsi itu dengan jalan “kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah”; keempat,
tipe ideal dari masyarakat yang dijadikan sebagai rujukan beragama secara murni
ialah generasi salaf, yaitu mereka
yang hidup pada abad-abad pertama Islam. Jadi generasi salaf itu dipandang sebagai umat terbaik sepanjang sejarah.
Makalah ini akan melihat bagaimana
gerakan purifikasi dalam sejarah pemikiran Islam dan dampak yang ditimbulkan
dari pencarian otentisitas itu. Untuk mencapai tujuan itu, terlebih dahulu
dijelaskan akar-akar doktrinal dan sosiologis yang mendasari pencarian
kemurnian Islam. Selanjutnya melihat dinamika gerakan purifikasi di Indonesia.
Akar Doktrinal dan Sosiologis
Gerakan
pemurnian Islam merupakan fenomena penting dalam perkembangan pemikiran dan
gerakan Islam. Ia seringkali muncul, tampaknya secara periodik, dalam situasi
mana banyak terjadi penyimpangan baik dalam moral, pemahaman maupun pengalaman
agama. Penyimpangan itu dipandang oleh para penganjur purifikasi sebagai
kemerosotan agama dan masyarakat Islam, dan mereka menyatakan bahwa agar agama
itu mencapai kejayaan, agama itu sendiri harus dibersihkan dari segala
penyimpangan, pengaburan, dan pengotoran yang berjangkit di kalangan umat
Islam.
Ada sejumlah ayat yang dapat dikemukakan yang
sering menjadi dasar bagi kaum muslim dalam memburu kemurnian Islam (Robert D.
Lee, 2000:26-29). Ayat al-Quran yang paling sering dikutip adalah “Sesungguhnya
agama (yang benar) di sisi Allah ialah Islam” (QS. 3: 19); “Pada hari ini Aku sempurnakan bagi kamu
sekalian agamamu, dan Aku sempurkan nikmat-Ku bagimu, Aku ridhai Islam sebagai
agamamu” (QS. 5: 15). Juga
sebuah hadis yang sering dikemukakan adalah “Aku tinggalkan untukmu dua perkara
yang tidak akan sesat bila kamu sekalian memegangi keduanya (yakni) Al-Quran
dan Sunnah Rasulullah”.
Harus diakui kerangka doktrinal tentang
kesempurnaan Islam ini, berhadapan dengan realitas dan perkembangan sejarah
yang sangat kompleks. Tuntutan sosiologis dan siklus krisis membuat kalangan
kaum muslim meninggalkan atau setidaknya dianggap menjauh dari kerangka
doktrinal kesempurnaan Islam. Proses menjauh dari cita-cita doktrinal dan
normatif Islam ini tidak hanya muncul dalam gagasan dan tindakan yang jelas-jelas
tidak selaras dengan prinsip-prinsip Islam, tetapi juga melalui
penambahan-penambahan tertentu terhadap ajaran Islam. Penambahan-penambahan ini
dikenal sebagai bid’ah. Yang dipandang sebagai tidak merupakan bagian autentik
dari al-Quran dan Sunnah.
Karena itulah, pencarian kemurnian Islam
melibatkan jargon “kembali kepada Al-Quran dan Sunnah Rasul”, yang merupakan
sumber paling autentik dari ajaran Islam. Khusus dalam bidang hadis, yang
ternyata juga tercampur dengan hadis-hadis palsu, maka pencarian kemurnian
Islam mengandung makna “menghidupkan kembali sunnah (ihya’ al-sunnah). Semua prinsip ini pada gilirannya menjadi dasar
bagi pencarian kemurnian Islam yang memunculkan gagasan dan gerakan yang
dikenal sebagai pembaharuan yang secara mitologis dan praktis menekankan
pemurnian Islam (Azyumardi Azra, 2002:168).
Konteks doktrinal pencarian Islam murni
tersebut haruslah dilengkapi dengan konteks historis kalangan umat Islam
sendiri. Gagasan Islam murni secara historis dikaitkan dengan ekspresi dan aktualisasi
Islam pada masa Nabi Muhammad sendiri dan para sahabat yang juga sering disebut
masyarakat atau kaum salaf. Dalam
pandangan Islam murni, kehidupan pada masa Nabi, di Madinah khususnya, dan yang
kemudian dilanjutkan para sahabatnya merupakan bentuk Islam yang paling murni,
yang belum tercampur intervensi ijtihad dan pengaruh sosiologis. Inilah
aktualisasi Islam paling ideal yang harus diwujudkan pada masa selajutnya
termasuk dalam masa modern dan kontemporer. Gagasan demikian kemudian
memunculkan paham yang lazim disebut salafisme atau puritanisme.
Sejarah Islam
mengenal gerakan-gerakan sejarah yang muncul dalam rangka purifikasi agama.
Yang pertama kali ialah gerakan Hanbali yang dipelopori oleh Abu Muhammad
al-Barbahari. Dengan kata lain, ia dipandang sebagai pelopor gerakan puritan
pertama dalam sejarah Islam. Situasi masyarakat Islam pada saat itu ditandai
dengan beberapa penyimpangan. Pertama, penyimpangan aqidah telah melanda
umat Islam karena pengaruh filsafat Yunani yang kemudian muncul dalam
masyarakat Islam dalam bentuk Ilmu Kalam dan Falsafah. Penyimpangan macam ini
dilakukan oleh aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Kedua, bid’ah dan
khurafat juga menjamur di kalangan umat Islam, sehingga timbul upacara-upacara
ritual yang tidak berpangkal pada ajaran Allah dan Nabi. Penyimpangan seperti
ini dilakukan oleh Syi'ah. Al-Barbahari dan gerakan Hanbalinya pada awal abad
ke-10 menyerukan perlawanan terhadap penyimpangan itu dengan cara kembali
kepada aqidah salaf.
Gerakan purifikasi kedua juga timbul di
kalangan masyarakat Hanbali, yaitu gerakan Ibnu Taimiyyah di Damaskus pada abad
ke-14. Ibnu Taymiyyah memandang bahwa Islam telah dikotori oleh tasawuf dan
tarekat yang sama sekali tidak berorientasi kepada Sunnah Nabi. Tarekat yang
dimaksud mengetengahkan konsep-konsep wali, wasilah, dan karamah yang
mengandung unsur khurafat dan syirik. Ibnu Taimiyyah berusaha menghilangkan itu
semua dengan menyerukan “kembali kepada tauhid” (Nurcholish Madjid, 1997: 157).
Berikutnya, dari gerakan purifikasi ialah
gerakan Muhammad ibn 'Abd al-Wahhab pada awal abad ke-19. Ini juga gerakan yang
tumbuh di kalangan madzhab Hanbali di Arabia. Kepercayaan umat Islam telah
banyak diwarnai dengan syirik, bid'ah, dan khurafat sehingga mereka menjadi
jauh dari ajaran Islam yang benar. Ibn 'Abd al-Wahhab ingin mengikis itu semua.
Ia banyak dipengaruhi oleh Ibnu Taimiyyah, dan gerakannya memberikan gaung yang
besar karena dukungan politis dari dinasti Saudi.
Dalam perjalanan sejarahnya Islam telah
membantu para penganutnya untuk memahami realitas yang pada gilirannya
mewujudkan pola-pola pandangan dunia tertentu. Pola-pola pandangan yang
mendunia dalam pranata sosial dan kebudayaan itu turut mempengaruhi
perkembangan dunia. Dalam konteks ini, Islam berperan sebagai subjek yang turut
menentukan perjalanan sejarah. Tetapi kelebihan pranata-pranata duniawi, karena
keharusan sejarah juga memaksakan perubahan dan akomodasi terus-menerus
terhadap pandangan dunia yang bersumber dari Islam (Azyumardi Azra, 2002: 171).
Di sini sering terdapat semacam “ketegangan teologis” antara keharusan
memegangi doktrin dengan keinginan untuk memberikan pemahaman baru pada doktrin
tersebut.
Kenyataan tersebut turut mewarnai panorama
pencarian kemurnian Islam yang pada dasarnya dapat disebut juga sebagai upaya
aktualisasi Islam melalui apa yang disebut sebagai “pembaharuan” sepanjang
sejarah. Ini terlihat dari, misalnya, dikhotomi: modernis-revivalis dan
moderat-fundamentalis. Pembelahan semacam ini jelas bukan sekadar tipologi,
tetapi lebih jauh lagi berakar pada posisi masing-masing dalam menghadapi
“ketegangan teologis” tadi, yang pada gilirannya membentuk pandangan dan sikap
masing-masing dalam pemberian respons dan jawaban untuk upaya aktualisasi.
Dalam
perspektif sosiologis, ketegangan teologis yang berdampak pada pembelahan umat
Islam tersebut merupakan perwujudan sekaligus pengukuhan pencarian kemurnian
Islam. Dalam ranah sosiologis ini, tampak sejumlah krisis dan kegagalan umat
Islam dalam menghadapi berbagai tantangan modernitas. Kekalahan dari Barat
sejak periode akhir Turki Usmani disambung dengan imperialisme Barat terhadap
negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim telah menyadarkan umat Islam
atas ketertinggalannya. Selanjutnya, di kalangan umat Islam muncul
kelompok-kelompok intelektual dan gerakan-gerakan dengan sikap yang sangat
beragam dalam rangka menyikapi ketertinggalan itu (Boisard, 1986: 311-320).
Bersamaan
dengan krisis, kegagalan dan ketertinggalan atas dunia Barat yang kian menguat,
kesadaran atas pencarian kemurnian pun mencuat dan para intelektual muslim
terlibat dalam perbincangan. Mereka mulai realistis melihat kenyataan bahwa
mereka belum bisa keluar dari kebekuan - atau meraih kemajuan yang cukup
berarti- meskipun juga telah diadakan upaya-upaya modernisasi, sebagaimana yang
terjadi di Turki (Taha Jabir al-Alwani, 1995: 1-10). Adopsi terhadap konsep
pembangunan dari Barat juga tidak mampu memecah kebekuan kemunduran di dunia
Islam. Negara-negara muslim di kawasan Asia
dan Afrika tetap saja tidak beranjak dari keterbelakangan, bahkan semakin hari
semakin besar hutang yang ditanggungnya.
Kegagalan yang
nyaris sempurna dalam berbagai aspek kehidupan yang menimpa kaum muslim ini
kemudian, di satu sisi, melahirkan sikap curiga terhadap kultur Barat yang
tidak cocok dengan kultur Islam, dan di sisi lain, juga mendorong tumbuhnya
sikap apologetik di kalangan umat Islam. Sikap anti Barat ditunjukkan dengan
penolakan atas segala isu dan konsep yang berasal dari Barat, semacam HAM dan
demokrasi. Dalam waktu bersamaan sikap apologetik ditunjukkan dengan kembali
kepada teks ajaran Islam yang telah sempurna mengatur segala aspek kehidupan.
Walaupun
demikian, gerakan penolakan Barat atas nama kemurnian bukan berarti
mempertahankan kemapanan. Gerakan kemurnian Islam tetap berpendirian bahwa
perubahan merupakan hukum alam, dunia harus berubah dari yang tidak baik
menjadi baik, dari yang statis menjadi dinamis. Pencarian kemurnian
mengandaikan inovasi dan kreativitas membangun formula yang tepat untuk lebih
baik yang sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam (Robert D. Lee, 2000: 14).
Implikasi Kultural Gerakan Pemurnian
Setiap masyarakat akan terus berkembang,
dan ke mana arahnya akan ditentukan oleh banyak faktor yang saling
tarik-menarik. Dari tarik-menarik dialektis itu akan muncul masyarakat baru.
Kalau kita mencoba untuk mempertemukan teori ini dengan teori siklikal (cyclical), maka masyarakat baru itu bisa
saja merupakan pengulangan dari yang telah ada. Bukankah perbedaan teori sosial
itu seringkali hanya karena perbedaan sudut pandang saja terhadap hakekat yang
sama. Sementara teori dialektika menekankan munculnya unsur-unsur baru dalam
proses perkembangan masyarakat, sedang siklikal menekankan unsur-unsur ulangan.
Terlepas dari kontroversi filsafat atau
teori sosial itu, tampaknya ada semacam keajegan dalam proses perkembangan
masyarakat dilihat dari sudut munculnya gerakan-gerakan purifikasi itu.
Keajegan itu menyatakan bahwa masyarakat yang diwarnai dengan pengalaman dan
pemahaman agama yang “akomodatif” terhadap budaya lokal maupun asing akan
memunculkan sebuah gerakan “puritan”. Jika gerakan yang terakhir itu
mendapatkan tempat di masyarakat, maka akan muncul pemahaman dan pengalaman
agama yang “formalistis”. Selanjutnya “formalisme” itu akan membawa kekeringan
penghayatan keagamaan, dan pada akhirnya masyarakat memerlukan sebuah gerakan
yang lebih liberal-spiritualistik. Ini berarti memberikan keleluasaan kepada
individu Muslim untuk menghayati agama yang tidak bisa dikontrol oleh “established religion”. Pada tahap ini
“heterodoksi” akan berkembang akibat dari sikap “akomodatif” terhadap budaya
lokal maupun asing itu. Jika keadaan itu berlangsung, akan muncul lagi gerakan
“puritan” untuk melakukan kritik terhadap liberalisme agama yang dipandang
cukup eksesif (Syafiq A. Mughni, 2001: 8).
Proses tersebut di atas terlihat pada
perkembangan masyarakat Islam di Indonesia. Abad-abad pertama perjalanan Islam
menunjukkan sifatnya yang akomodatif terhadap budaya lokal. Hal ini terjadi
akibat kebijakan para pembawa Islam yang cenderung meneruskan budaya lokal
tetapi dengan ruh baru Islam. Yang terjadi kemudian ialah tetap bertahannya ruh
budaya lama bergandengan bersama-sama dengan ruh baru. Dalam proses selanjutnya
timbul gerakan yang menyatakan itu sebagai penyimpangan, dan dengan demikian memerlukan
purifikasi. Gerakan purifikasi ini ditampilkan oleh Paderi di Sumatera,
Muhammadiyah, Persia, dan Al-Irsyad di Jawa, yang bukan saja ingin mendobrak
ruh tetapi juga bentuk budaya lokal (James L. Peacock, 1978: 33). Setelah
hampir seabad gerakan-gerakan itu berlangsung, muncul satu kelompok yang
mempertanyakan kembali relevansi dari jargon-jargon purifikasi itu, misalnya
tentang makna; “kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah”, serta “bid’ah, ijtihad
dan taqlid”. Kritik terhadap dampak purifikasi itu ingin memunculkan warna
“spiritualisme” dari agama secara lebih tegas sebagai antisipasi terhadap
krisis yang akan dialami oleh masyarakat modern-industrial. Jika pilihan baru
itu diterima, akan lahir kembali kecenderungan “akomodatif” yang tidak lagi
menekankan formalisme dalam kehidupan. Memang jelas bahwa “formalisme” itu
bukan merupakan tujuan dari gerakan purifikasi itu sendiri tetapi merupakan
ekses yang bisa timbul secara tidak sengaja (James, 1978: 2).
Sikap “akomodatif” yang dianut oleh
masyarakat Islam akan mengesahkan kembali liberalisme dalam menafsirkan
ajaran-ajaran Islam. Cara penafsiran liberalis yang cenderung dianut oleh
gerakan-gerakan purifikasi digugat kembali karena dipandang menjadi belenggu
bagi rasionalisasi dan kontekstualisasi ajaran Islam. Gerakan baru itu akan
menyatakan bahwa liberalisasi penafsiran Islam dengan semangat akomodatif
diperlukan agar Islam tetap relevan dengan perkembangan zaman.
Dalam perjalanan
sejarah pemikiran Islam, gerakan purifikasi telah memberikan sumbangan signifikan
baik dalam proses reorientasi faham keagamaan maupun dinamisasi Islam. Sebab
setiap gerakan purifikasi mengandung makna usaha agar agama itu menjadi
fungsional dalam sebuah masyarakat yang mengalami kebekuan sebagai akibat
jangka panjang dari sikap akomodatif. Oleh karena itu, setiap purifikasi juga
memiliki jargon “membuka kembali pintu ijtihad”. Memang timbul suatu kesan
bahwa di dalam gerakan purifikasi terdapat dua tema yang tampak kontradiktif,
yaitu kembali “kepada Al-Qur'an dan Sunnah” dan “membuka kembali pintu
ijtihad”. Kesan itu timbul sebenarnya sebagai akibat kenyataan bahwa tema
pertama itu diartikan sebagai “literalisme” atau memberikan makna harfiah
terhadap setiap teks Al-Qur'an atau Sunnah. Tetapi jika tema itu diartikan
sebagai reorientasi pemahaman agama kepada sumber aslinya, maka kesan
kontradiksi itu akan menjadi hilang. Dengan demikian usaha penggalian kembali
makna ajaran Islam itu sangat kompatibel dengan seruan untuk membuka pintu
ijtihad. Di sini pulalah letak arti pernyataan di atas bahwa setiap usaha
purifikasi sebenarnya mengandung makna dinamisasi (Amin Abdullah, 2000:38).
Dengan dua tema pokok gerakan purifikasi
itu, ada dua hal yang tampak sebagai dampak dari gerakan itu. Pertama,
ialah bahwa sumber ajaran Islam, al-Qur'an dan Sunnah, menjadi obyek garapan
yang sangat penting untuk dikembalikan sebagai rujukan utama dalam kehidupan
beragama. Ini berarti bahwa kehidupan beragama semakin dekat menuju ke arah “established Islam” dari pada “popular Islam”. Kedua, ialah bahwa
semangat kebebasan individual untuk memanfaatkan akal pikiran dengan segala
konsekuensinya menjadi semakin tinggi. Hal ini mutlak diperlukan bagi usaha
dinamisasi ajaran Islam. Kebebasan individual untuk memahami ajaran Islam itu
sebenarnya adalah inti dari ijtihad, sebagai lawan dari taqlid.
Gerakan purifikasi
di Indonesia
juga memberikan pengaruh yang cukup berarti dalam merosotnya otoritas ulama.
Kebebasan individual untuk berijtihad menyebabkan hilangnya kendala psikologis
maupun teologis untuk menggali secara bebas sumber-sumber ajaran Islam.
Merosotnya otoritas ulama itu tampak dalam gejala-gejala sebagai berikut: (1)
Sekalipun terus bertumbuhnya ilmuwan dalam berbagai bidang ilmu, termasuk
agama, ada kesan bahwa ulama dalam pengertian tradisional di kalangan gerakan
puritan semakin langka. Jika ada keluhan langkanya kyai di kalangan gerakan
puritan, sebenarnya itu merupakan konsekuensi dari kebebasan individual
tersebut di atas. Tampaknya masyarakat puritan terlalu mahal untuk memberikan
gelar kyai kepada ilmuwan agama di kalangan mereka sendiri; (2) ikatan antara
tokoh agama dan massa
menjadi longgar dan lebih bersifat impersonal-rasional. Dengan kata lain,
hubungan antar mereka lebih bersifat kontraktual dan demokratis.
Di Indonesia relevansi usaha purifikasi
ajaran Islam berkaitan dengan tingkat perkembangan masyarakat. Secara kasar
kita bisa membagi masyarakat Indonesia
menjadi dua tingkat, yaitu masyarakat kota
yang pada umumnya telah terkena arus modernisasi dan masyarakat desa yang masih
tradisional. Masing-masing tingkat masyarakat itu mempunyai persoalannya
sendiri, dan karena itu memerlukan pendekatan purifikasi yang berbeda.
Purifikasi di sini sebenarnya bisa saja tetap bertemakan “kembali kepada
al-Qur’an dan Sunnah”, tetapi harus menggunakan pendekatan yang spesifik untuk
masyarakat tertentu. Pendekatan al-Barbahari mungkin cocok untuk masyarakat
yang serba rationalized, sedangkan
pendekatan Ibn Taimiyah mungkin cocok untuk masyarakat yang serba spiritualized. Kedua masyarakat itu
terdapat di perkotaan. Di lain pihak, pendekatan Wahhabi barangkali cocok untuk
masyarakat yang serba mythical di
daerah pedesaan.
Gerakan Pemurnian Islam Kontemporer
Gerakan-gerakan
purifikasi di masa lalu ditujukan untuk melawan tiga kecenderungan yang terjadi
dalam masyarakat Islam. Pertama, ialah rasionalisme Mu'tazilah yang dipandang
sebagai aliran yang mengaburkan simplisitas ajaran teologi Islam. Gerakan
al-Barbahari pada awal abad ke-10 dengan jelas mewakili usaha purifikasi
semacam itu. Kedua, ialah antinomianisme dan spekulatifisme dari gerakan
tasawuf. Gerakan purifikasi Ibn Taimiyah menggambarkan perlawanan terhadap
kecenderungan itu. Ketiga, ialah berkembangnya syirik dan khurafat yang melawan
konsep tawhid. Perlawanan terhadap kecenderungan ini dilakukan oleh Gerakan
Wahhabi.
Selanjutnya bagaimana gerakan
purifikasi di dunia kontemporer saat ini? Robert D. Lee telah menemukan empat
model pencarian kemurnian Islam kontemporer. Ini tentu merupakan sumbangan yang
amat berharga dalam upaya melihat wacana Islam autentik. Menurut Lee muara
pencarian kemurnian Islam bisa dibedakan kedalam empat tipe: filosofis (Iqbal),
radikalisme (Quthub), revolusioner (Syari’ati) dan rasional-kritis (Arkoun).
Akan tetapi studi terhadap masalah
penting ini bila hanya berhenti pada keempat tokoh dan mengabaikan tokoh lain
tentu merupakan upaya simplifikasi yang dapat menimbulkan bias. Lebih-lebih isu
yang diangkat Lee dalam buku itu murni mengedepankan aspek sosiologis semata
dan sikap umat Islam terhadap dunia Barat.
Perkembangan
pencarian kemurnian Islam selain empat tipe tersebut juga mewujud dalam gerakan
salafisme moderat. Gerakan ini boleh dibilang sebagai gerakan Islam yang sangat
moderat dan bersahaja. Sebagai misal gerakan Islam Jamaah Tabligh. Gerakan yang
belakangan cukup berpengaruh dan menyebar ke seluruh benua ini, mengedepankan
pemahaman keislaman yang tidak berbelit, jauh dari nuansa radikalisme-politis,
tidak memerlukan budaya kritis apalagi sampai pada penalaran filosofis.
Dakwah mereka lakukan dengan cara persuasif,
berpindah dari tempat satu ke tempat lain, dengan tampilan fisik yang sederhana
sebagaimana pakaian para sahabat salafi. Meskipun tidak fenomenal dan mendapat
perhatian media internasional metode gerakannya mendapat simpati mulai dari
kalangan miskin-desa sampai pada kalangan elit-urban (Ahmad Baso dkk, 2003).
Wacana global fundamentalisme juga acap
kali dikaitkan dengan pencarian kemurnian Islam. Setidaknya, inilah yang
dilakukan oleh Khaled Abou El-Fadl, seorang intelektual muslim dan akademisi dari
UCLA Amerika. Dalam buku And God Knows
The Soldier: The Authoritative and Authoritarian in Islamic Discourse
(2001), Fadl menyajikan sebuah contoh kasus bagaimana pergerakan
fundamentalisme otoritarian mewabah di Amerika. Fadl terhenyak mendengar salah
seorang pebasket muslim tidak mau berdiri ketika lagu kebangsaan Amerika
dinyanyikan. Mahmoud Abdul Rauf (si pebasket) melakukan demikian karena ada
fatwa tentang hal itu yang dikeluarkan oleh komunitas pembela sunnah (Khaled M
Abou El Fadl, 2003).
Menurut Fadl, produk fatwa tersebut
merefleksikan sejumlah gagasan dasar atas sokongan ideologi puritan yang
berakar pada paham salafisme dan wahabisme. Tetapi sialnya kelompok ini tidak
berminat untuk mereguk kekayaan peninggalan peradaban Islam masa lalu sambil
memandang sebelah mata terhadap orientasi rasional intelektualisme kritis. Ada kesan penentangan
yang cukup kuat terhadap Barat, tetapi di sisi lain mereka juga lekat dengan
cara-cara berpikir yang tersegmentasi, mengabaikan penelaahan kualitas-kualitas
kemanusiaan yang mendasar, serta mencampakkan perspektif historisitas ajaran
agama (El Fadl, 2003: 29).
Sikap puritan
umat Islam yang berbasis teologi Wahabisme secara mendasar bukan hanya tidak
sesuai dengan jalan hidup peradaban Barat melainkan juga dengan pijakan gagasan
nilai-nilai kemanusiaan secara universal. Mereka menampilkan ketertutupan yang
tidak toleran dan sikap bermusuhan terhadap yang lain (El Fadl, 2003: 25).
Pencarian Islam autentik juga mempunyai orientasi idelogis dan menuntut
partikularisme normatif yang secara mendasar berpusat pada teks, tanpa
penelaahan secara memadai. Karena itu, Fadl seolah hendak mendesakkan agar
pemaknaan hukum Islam terhadap suatu hadis meminjam metodologi hermeneutika (El
Fadl, 2003: 95).
Fadl juga menyarankan agar senantiasa
mengaitkan hukum dan moralitas. Pencarian kemurnian Islam lebih diwarnai oleh
pemahaman bahwa teks sebagai sumber otoritas yang secara positivistik mengakui
logika tekstual sebagai hukum tertinggi. Pada hal bagi Fadl moralitas tidak membutuhkan
otoritas tekstual untuk dapat diterapkan. Moral adalah sesuatu yang inheren
dalam diri manusia. Karena itu, hukum-hukum moral tentang kebenaran, kebaikan
dan keindahan juga perlu dikaji mendalam untuk menjadi pemandu supaya agama
tetap dapat dibentangkan pada realitas kehidupan yang terus berubah. Pendekatan
ini, sekali lagi, mendesakkan perumusan hermeneutika hadis, mendahulukan
analisis matan hadis dan logika substantif dari pada analisis sanad dalam ilmu
hadis.
Fundemantalisme-radikal yang belakangan
menyeruak ke permukaan wacana global salah satunya diilhami oleh keketatan
paradigma Islam autentik yang kurang mamperhatikan pendekatan moral. Sebaliknya
paradigma Islam autentik tersemayami oleh semangat yang berorientasi dominasi
kultural dan politis (El Fadl, 2003: 27).
Dalam konteks analisis Fadl ini, amat
menarik mencermati munculnya gerakan fundamentalisme-radikal Islam yang cukup
menonjol di Indonesia
dalam beberapa tahun terakhir. Kepemimpinan puncak kelompok seperti Laskar
Jihad (LJ), Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI),
Jamaah Ikhwan al-Muslimin Indonesia (JAMI), dan lain-lain. Pemimpin utama LJ
adalah Ja'far Umar Thalib; FPI adalah Habib Rizieq Shihab, MMI adalah Abu Bakar
Ba'asyir, JAMI adalah Al-Habshi (Khamami Zada, 2002: 6-7).
Mengamati pemahaman Islam, wacana dan
praksis yang mereka kembangkan, maka secara singkat kelompok-kelompok ini dapat
dikategorikan sebagai kelompok “salafi radikal”, yang berorientasi kepada
penegakan dan pengamalan “Islam yang murni”, “Islam autentik” yang dipraktekkan
Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Mereka disebut sebagai “salafi radikal”
karena mereka cenderung menempuh pendekatan dan cara-cara keras untuk mencapai
tujuan, daripada dengan pendekatan dan cara-cara damai dan persuasif (Azyumardi
Azra, 2002).
Kemenonjolan warga keturunan Arab dalam
kepemimpinan kelompok-kelompok seperti ini pada segi tertentu tidak
mengherankan. Hal ini karena secara historis dan sosiologis, terdapat warga
keturunan Arab yang memandang bahwa diri mereka -- sebagai keturunan Arab --
memiliki tugas suci untuk “memurnikan Islam Indonesia” dan membawanya menjadi
“Islam murni”, “Islam autentik” sebagaimana dipahami dan dipraktekkan di tanah
Arab. Islam Indonesia
dipandang sebagai “Islam tidak murni” yang telah tercampur dengan kepercayaan
dan praktek keagamaan lokal (Talal Asad, 1986: 21-22).
Selain itu, jaringan ulama Indonesia-Arab
melalui ibadah haji, sekembalinya dari Mekah, cenderung menolak bentuk-bentuk
Islam lokal yang ada di Indonesia, kemudian mengajarkan Islam yang ”lebih
murni” sebagaimana yang dipelajari di Arab. Reformasi Islam telah mengalami
perubahan selama berabad-abad, dan tiap-tiap generasi dari Hijaz muncul
orang-orang baru yang membawa gelombang perubahan. Di antara mereka ada yang
berusaha untuk membawa keyakinan dan praktek dari umat Islam Indonesia lebih
sesuai dengan orang-orang Islam Arab, khususnya mereka yang berada di kota-kota
suci, yang agamanya dianggap murni dan otentik.
Kepemimpinan warga keturunan Arab dengan
orientasi “salafi radikal”, percaya bisa lebih efektif dalam usaha mewujudkan
agenda-agenda mereka. Karena tema-tema wacana dan praksis yang mereka angkat
cukup kontekstual dengan situasi sosial-budaya dan politik Indonesia, maupun
dengan situasi politik internasional maka kelompok-kelompok dan gerakan mereka
dengan segera mendapatkan keanggotaan yang tidak terbatas pada warga keturunan
Arab, tetapi juga mencakup Muslim pribumi.
Meningkatnya
pencarian “kemurnian Islam” di kalangan masyarakat Indonesia umumnya dalam dua
dasawarsa terakhir ini membuat kelompok-kelompok “salafi radikal” tadi menjadi
alternatif menarik bagi sebagian orang yang tengah mencari “Islam autentik”
tersebut.
Dilema Islam Puritan: Antara Globalitas dan Lokalitas
Dari uraian di atas dapat dikemukakan pujian
paradoksal terhadap dunia Islam. Dikatakan, salah satu penyebab kegagalan Islam
dewasa ini justru disebabkan oleh keberhasilannya yang gemilang di masa lalu.
Baik karena keyakinan akan ajarannya yang sudah mutlak sempurna serta warisan
budaya masa lalu yang amat kaya dan menakjubkan, maka seakan tak ada lagi ruang
bagi umat Islam dewasa ini untuk melakukan inovasi. Yang ada adalah melakukan
konservasi, revitalisasi, dan kembali pada kaidah-kaidah lama yang
dipersepsikan sebagai zaman keemasan.
Kuatnya memory of the past yang kemudian menjadi semacam ideologi yang
disakralkan maka dunia Islam secara psikologis merasa memiliki dunia
tersendiri. Dan sangat bisa jadi orang Barat, misalnya, juga memiliki perasaan
serupa, bahwa mereka memiliki dunia
sendiri yang lain dan yang lain. Sikap
ketertutupan ini pada urutannya membatasi kita untuk bisa melihat dan menerima
realita dunia baru. Bahwa dunia pada abad lalu bukanlah dunia yang ada hari
ini. Agama-agama dan budaya lokal yang
pada mulanya tumbuh secara isolatif, sekarang mau tidak mau harus
berinteraksi dengan yang lain ketika pluralitas agama dan budaya tak bisa lagi
dibendung (Komaruddin Hidayat, 2003: 31).
Berbagai klaim eksklusifisme agama dan
budaya sulit dipertahankan, bahkan gagasan nasionalisme klasik yang muncul oleh
antagonisme politik sekarang bergeser menjadi nasionalisme kosmopolitan.
Bahwa kehidupan sebuah bangsa bukan lagi
dikawal dengan kekuatan senjata, melainkan dengan kemitraan dengan
bangsa lain. Ke dalam, yang dilakukan bukan lagi mobilisasi massa untuk berperang melainkan memberi ruang
partisipasi publik selebar mungkin untuk bersama-sama membangun peradaban.
Islam memiliki potensi globalitas maupun lokalitas. Secara
normatif-teologis, Al-Qur’an sendiri menyatakan bahwa Islam sebagai “rahmatan lil- 'alamin” (QS. Al Anbiya:
107), merupakan pernyataan simbolik dari dimensi globalitas Islam, sementara di
ayat yang lain Al-Qur’an mengakui adanya pluralitas-lokalitas-kesukuan
(etnisitas) maupun kebangsaan (nasionalitas) (QS. Al-Hujurat:13). Wajah Islam
berdimensi universal sekaligus partikular (lokal dan temporal). Berarti secara
normatif-teologis pada hakikatnya tidak ada problem ketika Islam harus
berdialektika dengan paradigma paradoksal di atas (kecenderungan global
sekaligus lokal). Hanya saja yang menjadi persoalan di sini adalah: sejauh mana
batas wilayah keberagamaan Islam yang bersifat global (universal) serta lokal
dan temporal itu? Di sini bisa saja muncul pandangan yang kontroversial di
kalangan umat. Tetapi yang pasti, di dalam Islam, peluang untuk membangun etika
lebih-lebih berwajah lokal sangatlah dimungkinkan. Tafsiran tentang ini bisa
bersifat plural tentunya, tergantung pada ruang historis yang berkembang maupun
para perumus etika Islam itu sendiri. Toh setiap ruang dan zaman pasti memiliki
pola pemikiran yang berbeda pula (Islam
shalihun li kulli zaman wa makan).
Maka di era globalisasi sekarang ini dibarengi dengan munculnya
berbagai kecenderungan lokalitas yang ada, umat dituntut untuk terus
berijtihad—oleh Dr. Iqbal dinyatakan bahwa ijtihad merupakan “prinsip gerak
dalam struktur pemikiran Islam” [the
principle of movement in the structure of Islam]—secara maksimal dengan
mengerahkan berbagai potensialitas yang dimiliki (Mohammad Iqbal, 1986: 146).
Dalam konteks ini, norma-norma Islam yang universal barangkali tidak terlalu
banyak dipermasalahkan, karena secara normatif telah banyak tersedia di dalam
kitab suci maupun hadis Nabi serta khazanah ulama klasik lainnya. Yang menjadi
sangat problematis saat ini adalah dimensi etika Islam yang berwajah lokal yang
harus dirumuskan oleh para ahli, baik etika lokal yang terkait dengan wilayah
aqidah agar tidak terjebak dengan sinkretisme maupun wilayah fiqh dalam arti
luas, yakni fiqh lingkungan, fiqh seni, kebudayaan, dan peradaban, fiqh
kelautan, dan lain-lain.
Robert N. Bellah mengungkapkan betapa Islam—melalui Muhammad
SAW—telah terbukti sukses—bahkan too
modern to succeed—membangun peradaban yang justru dimulai dari
tengah-tengah padang pasir yang tandus dan gersang serta dari kerumunan tribal
society di tengah
pluralitas masyarakat Mekkah
di zamannya. Kesuksesan Muhammad tidaklah diukur dari
kualitas yang dicapainya, lebih dari itu adalah tingkat kualitas moral
peradaban yang diwariskannya (Robert N. Bellah, 1976: 50-51).
Dalam sejarah peradaban Islam, banyak sekali warisan peradaban
yang pada hakikatnya tidak murni dari “warisan dalam” Islam. Tetapi,
sebaliknya, justru banyak mengadopsi dari “warisan luar” Islam sebagai salah
satu contoh, bentuk menara mesjid yang kini menjadi ciri umum bangunan mesjid
di seluruh dunia Islam merupakan salah satu bukti hasil interaksi Islam dengan
kekayaan budaya lokal (Nurcholish Madjid, 1992: 445).
Ini berarti bahwa dalam perjalanan historisitasnya, Islam tetap
bisa bersinergi dengan kekayaan peradaban dunia sepanjang secara teologis tidak
lari dari komitmen imani sebagaimana yang telah digariskan oleh Islam. Untuk
zaman ini bahkan di masa-masa mendatang, agama Islam bersama agama atau paham
lain bisa menjalin bahkan ‘menyatu’
dalam memperkaya mozaik
warisan kultural dunia
sehingga dimensi ketunggalan rasa
kemanusiaan, etika dan estetika menjadi media keharmonisan interaktif dan
dialektik antar hubungan sesama umat manusia di dunia.
Pandangan lokalisasi Islam ini merupakan pemikiran lanjut dari
empirisme Islam. Menurut Iqbal, secara normatif, Al-Qur’an lebih mementingkan
tindakan nyata (deed) ketimbang
semata-mata gagasan idealistik rasionalistik (Mohammad Iqbal, 1986: IV).
Kelemahan para pemikir Islam klasik lanjut Iqbal, karena mereka memaksakan
logika deduktif Yunani dalam memahami Al-Qur’an, sehingga berakibat pada
kekaburan pemahaman. Pandangan tokoh Islam yang berwawasan empirik di atas
paling tidak dapat dijadikan acuan tentang pentingnya pembumian ajaran Islam
(Amin Abdullah, 2003: 20).
Pada dataran empiris, sesuai dengan fenomena dan tantangan
multikultural yang ada, yang menjadi problem buat kita adalah, bagaimanakah
upaya lokalisasi dan kulturalisasi Islam
sehingga kelak mampu menjadi media perekat sosial pada tingkat wacana lokal
tanpa harus mereduksi dimensi universalitas Islam itu sendiri. Sedangkan dalam
perspektif kultural—dalam arti seni
budaya—bahwa sepanjang dapat “mempertahankan” universalitas Islam, maka seni
budaya sebagai upaya apresiasi khazanah lokal menjadi dibolehkan.
Penutup
Usaha purifikasi yang biasa disebut
sebagai gerakan tajdid, ishlah, atau salaf akan muncul dalam masyarakat yang
dipandang telah menyimpang dari ajaran Islam yang asli. Gerakan purifikasi
dengan semboyan “kembali kepada al-Quran dan Sunnah” bisa berarti mengingatkan
pentingnya aspek sufistik dari formalisme ritual dan hedonisme material. Usaha
purifikasi itu tidak hanya ditujukan untuk menghilangkan bid 'ah dan khurafat.
Gerakan pencarian kemurnian Islam telah
menjadi perhatian para pemikir Muslim di berbagai kawasan Islam. Secara
artifisial para pemikir sama-sama melakukan pencarian kemurnian. Gerakan ini
telah telah menuai hasil kemajuan di berbagai bidang kehidupan umat Islam.
Antara lain menguatnya kesadaran akan pentingnya pembaharuan pemikiran dan
gerakan Islam.
Di sisi lain, proyek pemurnian Islam
mengandaikan pandangan dunia bahwa Islam sebagai kerangka normatif ajaran yang
transenden, baku
dan tak berubah. Karena itu seluruh bangunan tekstualnya mesti merujuk pada
sendi-sendi dasar yang termaktub dalam Al-Quran dan Sunnah (apa yang pernah
diajarkan Nabi SAW di Makkah dan Madinah sebagai basis geografis lahirnya
Islam).
Purifikasi juga meniscayakan ketundukan
kepada teks al-Quran dan Hadis dan pengalaman masa lalu dalam bentuknya yang
tekstual pada ranah sosial-politik. Sebab pesan transenden al-Quran dan Sunnah
dianggap tidak bersentuhan sama sekali dengan budaya manusia. Dalam
perkembangan Islam kontemporer upaya pencarian kemurnian Islam terkait dengan
berbagai wacana global, seperti terorisme, moderatisme, islamic local knowledge, dan gerakan fundamentalisme-radikal.
Kaum Muslim agaknya tidak akan berhenti
dalam pencarian otentisitas ini dan akan selalu dikaitkan dengan wacana yang
mereka gumuli. Pencarian kemurnian (al-ashalah)
Islam, meminjam istilah Marshal G. Hodgson, merupakan the perennial venture, pengembaraan abadi di kalangan Muslim.
Toynbee sangat memahami kerja keras kaum muslim dalam pencarian itu,
sebagaimana dinyatakan dalam kutipan berikut:
“Sekarang dalam sebuah dunia di mana
jarak telah “dibinasakan” oleh kemajuan
teknologi Barat..., tradisi Islam tentang persaudaraan umat manusia tampaknya
merupakan suatu cita-cita yang lebih baik demi memenuhi keperluan sosial zaman
dari pada tradisi Barat mengenai kemerdekaan yang berdaulat dalam sejumlah
nasionalitas yang terbelah” (Arnold J. Toynbee, 1963: 254).
Daftar Pustaka
Abdulllah,
Amin. 2002. "Respons Kreatif Muhammadiyah Dalam Menghadapi Dinamika
Kontemporer", dalam M. Toyyibi (ed.), Sinergi Agama dan Budaya Lokal.
Solo: Muhammadiyah
University Press.
________.
2000. Dinamika Islam Kultural: Pemetaan Atas Wacana Keislaman Kontemporer.
Bandung: Mizan.
Baso,
Ahmad dkk. 2003. Islam Pribumi: Mendialogkan Agama Membaca Realitas. Jakarta: Erlangga.
Al-Alwani,
Taha Jabir. 1995. Krisis Pemikiran Islam Modern. Selangor: The International
Institute of Islamic Thought.
Asad, Talal. 1986. The Idea of an
Anthropology of Islam. Washington:
CCSA.
Azra, Azyumardi. 2002. "Radikalisasi
Salafi Radikal". Tempo, Desember.
_______.
2002. Reposisi Hubungan Agama dan Negara. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Bellah,
Robert N. 1976. Beyond Belief, Essay on Religion in a Post-Tradisional Word.
New York:
Harper and Row.
Boisard, Marcel A. 1986. Humanisme
dalam Islam. Jakarta:
Bulan Bintang.
Boulatta,
Issa J. 2000. Dekontruksi Tradisi: Gelegar Pemikiran Arab Islam. Terj,
Imam Khoiri. Yogyakarta: LkiS.
El-Fadl,
Khaled Abou. 2003. Cita dan Fakta Toleransi Islam, Puritanisme Versus
Pluralisme. Terj. Eka Prasetya. Bandung:
Mizan.
________. 2003. Melawan Tentara
Tuhan. Jakarta:
Serambi.
Gellner,
Ernest. 1995. Membangun Masyarakat Sipil Prasyarat Menuju Kebebasan. Bandung: Mizan.
Hidayat,
Komaruddin. 2003. Wahyu di Langit Wahyu di Bumi. Jakarta: Paramadina.
Iqbal,
Mohammad. 1982. The Recontruction of Relegius Thought in Islam. Ashraf: Lahore.
L.
Peacock, James. Muslim Puritans: Reformis Psycology in South East Asian
Islam. Barkeley: University
of California Press.
________.
1978. Purifiying the Faith: Muhammadiyah Movement in Indonesian Islam. California: Cumming
Publishing.
Lee,
Robert D. 2000. Mencari Islam Autentik: Dari Nalar Puitis Iqbal Hingga Nalar
Kritis Arkoun. Terj. Ahmad Baiquni. Bandung:
Mizan.
Madjid, Nurcholish. 1992. Islam,
Doktrin, dan Peradaban. Jakarta:
Paramadina.
________. 1997. Kaki Langit
Peradaban Islam. Jakarta:
Paramadina.
Mughni,
Syafiq A. 2001. Nilai-nilai Islam: Rumusan, Ajaran, dan Aktualisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tashwirul Afkar No.
14 Thun 2003.
Tonybee,
Arnold J. 1963. Civilization on Trial an the World and the West. Cleveland and New York: The World
Publishing Company.
Zada,
Khamami. 2002. Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di
Indonesia. Jakarta:
Teraju.
0 Komentar