Di akhir abad ke sembilanbelas filsuf
Amerika Charles Sanders Peirce memulai sebuah studi yang dinamakannya
“semiotic”, dan dalam bukunya COURSE IN GENERAL LINGUISTICS (1915) linguis
Swiss Ferdinand de Saussure tanpa mengetahui ide Peirce tersebut mengusulkan
sebuah ilmu ( a science) yang disebutnya “semiology”. Sejak itu semiotika dan
semiologi telah menjadi nama-nama alternatif bagi sebuah ilmu umum tentang
tanda-tanda (a general science of signs), seperti yang terdapat dalam semua
pengalaman manusia. Menurut ilmu ini pemakaian tanda tidak terbatas pada sistem
komunikasi yang eksplisit seperti bahasa, kode Morse, dan tanda serta signal
lalulintas; beragam aktivitas dan produksi manusia lainnya – postur dan gerak
badan kita, ritual sosial yang kita lakukan, pakaian yang kita pakai, makanan
yang kita sajikan, bangunan tempat kita tinggal – mengandung “arti” yang
dimengerti oleh anggota-anggota dari kebudayaan tertentu, makanya bisa
dianalisis sebagai tanda-tanda yang berfungsi dalam berbagai jenis sistem
signifikasi. Walaupun studi tentang bahasa (pemakaian tanda-tanda verbal)
dianggap hanya sebagai satu cabang semiotika, linguistics yang merupakan ilmu
tentang bahasa yang sangat berkembang menyediakan metode dan peristilahan dasar
yang dipakai oleh seorang semiotikus dalam mempelajari semua sistem-tanda
sosial lainnya.
C.S. Peirce membedakan tiga kelas
tanda, yang didefinisikannya dalam konteks jenis hubungan antara item yang
menandakan dan yang ditandakan: (1) IKON, berfungsi sebagai tanda melalui
persamaan inheren, atau unsur-unsur yang dimiliki bersama, dengan apa yang
ditandakan; contoh-contohnya adalah persamaan antara sebuah potret dengan
manusia yang digambarkannya, atau persamaan antara sebuah peta dengan wilayah
geografis yang diwakilinya. (2) INDEKS adalah sebuah tanda yang memiliki
hubungan kausal dengan apa yang ditandakan; jadi, asap merupakan tanda yang
mengindikasikan api, dan sebuah alat penunjuk arah angin mengindikasikan arah
angin berhembus. (3) Dalam SIMBOL (atau dengan istilah yang kurang ambiguitas,
“tanda sebenarnya”) hubungan antara item penanda dan apa yang ditandakan
bukanlah sebuah hubungan yang alami, tapi merupakan sebuah konvensi sosial.
Gerakan berjabatan tangan, misalnya, dalam banyak kebudayaan merupakan tanda
konvensional untuk sapaan ataupun perpisahan, dan lampu lalulintas berwarna
merah secara konvensional menandakan “Berhenti!” Contoh paling utama dan paling
kompleks dari tipe tanda ketiga ini adalah kata-kata yang membentuk sebuah
bahasa.
Saussure memperkenalkan banyak dari
istilah dan konsep yang dipakai para semiotikus sekarang ini. Yang paling
penting adalah sebagai berikut: (1) Sebuah tanda terdiri dari dua komponen atau
aspek yang tidak dapat dipisahkan, yaitu “signifier” (dalam bahasa, seperangkat
bunyi ujaran, atau tanda-tanda di atas kertas) dan “signified” (konsep, atau
ide, yang merupakan arti dari tanda tersebut). (2) Sebuah tanda verbal, dalam
peristilahan Saussure, bersifat “arbitrary”. Maksudnya, dengan onomatopoeia
(kata-kata yang kita anggap sama dengan bunyi-bunyi yang ditandakan) sebagai
pengecualian kecil, tidak ada hubungan inheren atau alami antara sebuah
“signifier” verbal dengan apa yang ditandakan (signified). (3) Identitas dari
semua elemen sebuah bahasa, termasuk kata-katanya, bunyi-bunyi ujaran
komponennya, dan konsep-konsep yang ditandakan kata-kata, tidak ditentukan oleh
“kualitas positif”, atau unsur-unsur objektif dalam elemen-elemen itu sendiri
tapi oleh perbedaan (differences), atau sebuah jaringan hubungan, yang terdiri
dari perbedaan dan oposisi dengan bunyi-bunyi ujaran lainnya, kata-kata
lainnya, dan “signified” lainnya yang terdapat hanya dalam sebuah sistem
linguistik tertentu. (4) Tujuan dari linguistics, atau usaha semiotika lainnya,
adalah untuk memahami “parole” (sebuah ujaran verbal, atau sebuah pemakaian
khusus tanda atau seperangkat tanda) hanya sebagai sebuah manifestasi dari
“langue” (yaitu sistem umum dari perbedaan-perbedaan implisit dan aturan-aturan
kombinasi yang mendasari dan memungkinkan sebuah pemakaian khusus tanda). Fokus
perhatian semiotika lebih banyak terletak pada sistem yang mendasari “langue”
daripada pada sebuah “parole” tertentu.
Semiotika modern berkembang di Perancis
di bawah pengaruh Saussure hingga banyak semiotikus juga merupakan
strukturalis. Mereka membahas setiap fenomena atau produksi sosial sebagai
“teks”, yakni seperti yang terbentuk oleh struktur-struktur yang berdiri
sendiri, mandiri dan hierarkis dari tanda-tanda, “kode-kode” fungsional yang
ditentukan secara berbeda-beda, dan aturan-aturan kombinasi dan transformasi
yang membuatnya “berarti” bagi anggota-anggota sebuah masyarakat. Claude Levi-Strauss,
di tahun 1960an dan sesudahnya, memulai penerapan semiotika atas antropologi
budaya dan pendirian strukturalisme Perancis dengan memakai linguistics
Saussure sebagai model untuk menganalisis berbagai fenomena dan praktek-praktek
dalam masyarakat primitif, yang diperlakukannya sebagai setengah-bahasa, atau
struktur-struktur penanda yang independen. Ini termasuk sistem kekerabatan,
sistem totem, cara menyiapkan makanan, mitos, dan mode pra-logis dalam
penginterpretasian dunia. Jacques Lacan menerapkan semiotika atas psikoanalisis
Freud, dengan menginterpretasikan ketaksadaran sebagai sebuah struktur tanda,
seperti bahasa; dan Michel Foucault melakukan pendekatan analisis yang serupa
untuk mendiskusikan, dalam berbagai periode sejarah, interpretasi medis atas
symptom penyakit, perubahan dalam identifikasi, klasifikasi dan perawatan orang
gila, dan konsep-konsep seksualitas manusia. Roland Barthes, yang secara
eksplisit menerapkan prinsip-prinsip dan metode Saussure, menulis analisis
semiotik atas konstituen dan kode sistem-tanda dalam iklan fashion perempuan,
dan juga dalam banyak “ mitos borjuis ” tentang dunia ini yang menurutnya
dicontohkan dalam sistem-tanda sosial seperti pertandingan gulat profesional,
mainan anak-anak, “ornamental cookery”, dan tarian telanjang striptease.
Barthes juga dalam tulisan-tulisan awalnya merupakan seorang eksponen utama
dari kritik strukturalis yang membahas teks sastra sebagai “sebuah sistem
semiotik lapisan kedua”; maksudnya, teks sastra dipandang sebagai memakai sistem
bahasa yang merupakan lapisan pertama untuk membentuk struktur yang lebih
tinggi tingkatannya, sesuai dengan sistem elemen-elemen, konvensi dan kode
berbeda sastra.
0 Komentar