Perairan
Maluku dikenal sebagai perairan yang ramai oleh aktifitas perdagangan dunia,
khususnya ketika bangsa Eropa mulai datang untuk menemukan langsung
rempah-rempah dari tempat asalnya, Ternate dan Tidore sebagai salah satu pusat
perdagangan juga sebagai pusat politik di masa itu pun menemukan kejayaan dari
hasil perdagangan yang ramai di wilayahnya, dapat dikata hilir mudik pelayaran
Internasional di perairan Nusantara masa itu berkiblat di perairan Maluku,
rempah-rempah seperti pala dan cengkeh yang sebagai komoditi utama adalah bukti
tak terbantahkan dalam menjawab pertanyaan tentang kenapa perairan Maluku
disebut sebagai kiblat perdagangan dunia di abad pertengahan. Bahkan Jauh
sebelum kedatangan bangsa Eropa jalur perdagangan di wilayah ini juga sudah
cukup ramai oleh pedagang dari Cina, Arab dan dari Nusantara sendiri, dengan
Pala dan Cengkeh yang juga sebagai komoditi utama.
Menelusuri Jejak Canga
Nuansa
perdagangan yang begitu ramai di daerah ini, selain mendatangkan kejayaan
beberapa kesultanan dan kerajaan di wilayah ini, juga turut mendatangkan
kejayaan pada kelompok-kelompok kecil masyarakat yang beroperasi sebagai bajak
laut, yang bahkan pernah sangat ditakuti di perairan ini, mereka berasal dari
Tobelo dan Galela, yang menamakan ekspedisi mereka dengan sebutan “canga” yang secara
kontekstual artinya membunuh, dalam perjalanan sejarah tidak ada yang tahu
secara pasti kapan ekspedisi ini dimulai oleh orang-orang Tobelo dan Galela,
kaburnya sumber sejarah yang menyelimuti membuat kita berkesimpulan bahwa
kegiatan canga telah berlangsung sejak lama dan mungkin pernah menjadi bagian
dari budaya masyarakat selama beberapa generasi di sepanjang abad pertengahan
hingga paruh awal abad XVIII. Terdapat banyak pendapat berbeda mengenai awal
munculnya kegiatan canga ini, semuanya adalah pendapat yang dapat
dipertimbangkan kebenarannya secara ilmiah, setidaknya ada dua pandangan kuat
yang menjelaskan awal kemunculan ekspedisi canga ini; pandangan yang pertama
mengatakan bahwa awal mulanya canga yang dalam hal ini berarti ‘mengejar’,
dimana awak perahu berlomba untuk saling mengejar dalam mencapai target untuk
meraih hasil tangkapan berupa ikan di wilayah teritorial mereka, uniknya ada
peraturan untuk tidak saling memasuki kawasan territorial orang lain, jika
tertangkap maka akan nada sanksi berupa keharusan memberikan ngasi atau denda
berupa hasil tangkapan yang didapat, budaya ini telah berlangsung jauh sebelum
bangsa Asing mendatangi perairan Maluku khususnya wilayah Halmahera bagian
Utara, semenjak kedatangan bangsa asing (Portugis) dikatakan bahwa budaya canga
kemudian berubah orientasinya yang mulanya hanya merupakan budaya dalam mencari
nafkah berubah menjadi operasi bajak laut, tak lebih dikarenakan kekhawatiran
masyarakat terhadap menghilangnya wilayah territorial mereka, dan karena itu
mereka mencari territorial baru dengan cara menjarah dan merampok apapun yang
mereka temukan di laut, dari pandangan ini dapat disimpulkan bahwa operasi
bajak laut yang disebut canga ini dimulai ketika memasuki awal abad XIV,
seiring kedatangan bangsa Portugis yang menjadi pemicunya. Pendapat yang kedua
sangat jauh berbeda, Dalam pendapat ini dikatakan bahwa pada mulanya Masyarakat
Tobelo dan Galela adalah masyarakat nelayan biasa yang selalu mendapat teror
oleh para bajak laut (lanun) dari Mangindanao dan Balangingi, keadaan inilah
yang merubah pandangan masyarakat Tobelo dan Galela dari yang awalnya bersifat
defensive sebagai nelayan biasa kemudian menjadi sangat agresif sebagai bajak
laut, tidak pasti kapan munculnya operasi pembajakan terkait dengan pendapat
yang kedua ini, namun pendapat ini juga adalah pendapat yang memiliki landasan
yang kuat, dengan kesimpulan bahwa operasi pembajakan oleh masyarakat Tobelo
dan Galela telah berlangsung sekitar abad XIV, pendapat yang satu ini adalah
pendapat yang kuat, ini dilandasi dengan kata “canga” yang sebenarnya diserap
dari bahasa suku Tobaru (pendahulu suku Tobelo dan Galela) sementara suku
Tobelo dan Galela mulai ada/dikenal pada abad XV setelah kedatangan evangelis
terkenal Franciscus Xaverius yang katanya sebagai orang yang memberi nama
daerah Galela, nama “Galela” sendiri berasal dari sejarah Yesus ketika
menyeberangi danau Galilea, berdasarkan hal ini maka dipastikan bahwa operasi
bajak laut oleh suku Tobelo dan Galela telah berlangsung sejak sebelum abad XV
dengan pertimbangan bahwa “Canga” adalah bahasa Tobaru yang artinya
juang/berjuang, dan suku Tobaru sendiri dipastikan eksistensinya mulai
menghilang/membaur pasca kedatangan Portugis, dengan demikian maka dapat
disimpulkan bahwa Canga adalah budaya suku Tobaru, sebelum akhirnya membentuk
beberapa anak suku termasuk suku Tobelo dan Galela yang melanjutkan kebudayaan
itu.
Terlepas
dari awal kemunculannya, bajak Laut dari Tobelo dan Galela pernah menjadi
gerombolan yang paling ditakuti di wilayah perairan local, dengan ekspedisi “Yo
Canga-Canga” daerah ekspansi mereka mencapai beberapa pulau besar seperti
Bacan, Banggai, Obi, serta Buton, biasanya selain merampas harta benda para
bajak laut cenderung menculik penduduk setempat untuk dijual sebagai budak
ataupun dibawa ke Tobelo dan Galela untuk dinikahi (kebanyakan dari Banggai dan
Buton), dari beberapa daerah yang disebutkan sampai sekarang terdapat komunitas
suku Tobelo dan Galela (selanjutnya disebut TOGALE) yang jumlahnya tidak kalah
banyak dengan penduduk local. Selain ekspansi di perairan sekitar Maluku Utara,
Ekspedisi Canga juga mencapai Selat Makassar (salah satu buktinya adalah
Legenda Tanjung Api). Kejayaan bajak laut Tobelo dan Galela mencapai puncak
ketika memasuki abad XVII dimana wilayah ekspansinya meluas hingga ke pulau
Jawa, sumber sejarah mengatakan bahwa pada bulan Oktober tahun 1850 sekelompok
bajak laut Tobelo dan Galela berkekuatan sekitar 15 kapal berukuran besar
berangkat dari Manggarai lalu mendarat di pulau Kangean, Madura dan menangkap
para penduduknya untuk dijual sebagai budak di pulau yang diberi nama pulau
laut (dijadikan markas dalam melakukan ekspansi ke wilayah perairan Jawa dan
Flores), pulau ini bersebelahan dengan pulau Kangean, dalam ekspedisi Canga
yang lebih luas ini dikatakan bahwa para bajak laut yang beroperasi di perairan
Nusantara (Mangindanao, Balangingi, Makassar, Johor, dan Tobelo-Galela)
membentuk semacam persekutuan namun didalam operasi pembajakan mereka
melakukannya secara sendiri-sendiri (Koloniaal
Verslag
1850:18)..
kejayaan bajak laut ini akhirnya melemah ketika memasuki akhir abad XVIII atau
tepatnya pada tahun 1860, dan akhirnya lenyap sama-sekali ketika hampir
memasuki awal abad XIX.
Canga, Dalam Konteks Kekinian
Entah
karena malu ataupun enggan karena pendahulunya adalah seorang Bajak Laut,
cerita mengenai nenek moyang suku Tobelo dan Galela yang pernah Berjaya sebagai
bajak laut tidak begitu berkembang secara turun-temurun didalam kehidupan masyarakat
Tobelo dan Galela kini, bahkan cerita mengenai Bajak laut hanya dianggap
sebagai dongeng belaka, kata “Canga” sendiri tidak mendapat “tempat” didalam
keseharian masyakat meskipun kebanyakan mereka mengenal kata “Canga” identik
dengan bajak laut, namun lebih dari itu kata “Canga” tidak memiliki arti
apa-apa karena perspektif masyarakat telah mengarahkannya kepada pengertian
“Membunuh”, itulah kenapa pada konflik horizontal tahun 1999 silam kata “Canga”
sangat populer di kalangan masyarakat yang bertikai, dalam perbincangan
masyarakat sering terucap kalimat “ka o kia no ma canga li mana” (Apa yang mau
kamu bunuh sekarang), ketika didalam perjalanan menemui orang yang memegang
parang, tombak, pisau, dan sebagainya. Jika ditinjau secara historis, pandangan
masyarakat tentang Canga ini adalah salah besar, baik dalam konsep bahasa maupun
konsep kultur.
Dalam konsep bahasa, kata “Canga” tidak bermakna sebagai “membunuh”, hanya saja
pergeseran makna yang diserap kedalam bahasa Tobelo dan Galela mengartikan demikian,
ini dikarenakan setiap ekspedisi Canga pada akhirnya pasti terjadi pembunuhan,
namun begitu jika ditinjau dari asal katanya “Canga” adalah bahasa Tobaru yang
berarti “Juang/Berjuang” (Yuiti Wada, Japan National Museum oj'
Ethnology),
dalam hal ini “Canga” merupakan bagian dari sebuah perjuangan masyarakat untuk
mempertahankan wilayah teritorialnya yang pada saat itu kian terusik oleh
kedatangan bangsa asing di perairan Maluku, khususnya Halmahera. Dalam konsep
cultural, Ekspedisi Canga menurut pandangan masyarakat juga cenderung
berkonotasi negatif, yakni sebagai penjahat di laut yang sepenuhnya bertingkah
laku layaknya penjahat, padahal sebenarnya banyak hal baik yang dapat kita
petik dari sejarah perjalanan pendahulu kita ini jika kita telaah secara lebih
mendalam, salah satunya yaitu semangat persatuan yang tergambar jelas pada saat
ketika hendak melakukan ekspedisi, dimulai dari membuat perahu hingga
meninggalkan daratan yang diiringi dengan pekikan “Hotuuu….”, kemudian dibalas
serentak dengan teriakan “yee…..”, yang memaknai semangat sekaligus symbol
keberanian dalam mempertahankan harga diri hingga titik darah yang terakhir,
selain itu sebuah Filosofi juga terlahir dari sini, yaitu haram bagi untuk
menumpahkan darah antar sesama komunitas Canga baik di laut maupun di darat,
sangat disayangkan ketika pantangan itu di obrak-abrik saat konflik sosial
melanda daerah ini tahun1999 silam. Tidak dapat dipungkiri bahwa semangat
persatuan masyarakat Tobelo dan Galela telah luntur terutama disebabkan oleh hegemoni
politik daerah yang cenderung mengangkat isu Etnis bahkan agama, apalagi dengan
keadaan sosial masyarakat yang telah membaur dan membentuk komunitas masyarakat
yang Multikultur sekarang ini, yang olehnya semakin membuka jalan kebencian
antar sesama masyarakat yang dulunya dikenal memiliki semangat persatuan yang
tidak ada padanannya pada masa itu, semoga masyarakat dapat menyadari hal ini
sehingga kemudian dapat berbenah untuk merajut kembali tali persaudaraan yang
sempat terputus.
0 Komentar