Oleh:
MUHAMMAD
GUNTUR
Mahasiswa
FS – Unkhair & Duta Bahasa Provinsi Maluku Utara
Beberapa hari ini dunia
dibuat terhenyak oleh kudeta Militer Mesir (kalau boleh disebut begitu)
terhadap Presiden yang terpilih dengan cara paling demokratis dalam sejarah
negeri piramida, Mesir; Muhammed Morsi. Keadaan ini menjadi headline di
berbagai media dan surat kabar di seluruh penjuru dunia. Sampai dengan ulasan
ini ditulis, jumlah korban yang tewas telah mencapai 54 orang, 3 dari pihak
militer, sedangkan sisanya dari pendukung Presiden yang dimakzulkan –kebanyakan
kader Ikhwanul Muslimin− (Okezone.com/09/07/13). Menyangkut dengan pergolakan
dan pergerakan ini, kelompok Ikhwanul Muslimin tidak bangkit dengan alasan bahwa
Morsi merupakan tokoh yang berasal dari Ikhwanul Muslimin, tetapi mereka
bangkit dan bergerak untuk berusaha kembali menegakkan demokrasi yang telah
susah payah dirampas dari tangan rezim totaliter Husni Mubarak, ketika itu coba
untuk dihancurkan oleh militer melalui kudeta pada bulan juni lalu. Fakta
inilah yang kemudian dengan sendirinya membentuk citra penegak demokrasi
didalam diri dan pergerakan Ikhwanul Muslimin.
Jika dilihat dari
kacamata yang universal, tanpa menyangkut-pautkan dengan identitas gerakan
Ikhwanul Muslimin yang agamis, kelompok pergerakan ini memiliki keunikan yang
jarang ditemui dalam tubuh kelompok pergerakan Islamis yang lain, seperti
misalnya Al-Qaeda, Al-shabab, dan ataupun Hizbullah di Lebanon, yang mana
kelompok-kelompok pergerakan tersebut lebih memilih kotak peluru (perjuangan
radikal) ketimbang kotak suara (perjuangan demokratis). Posisi yang diambil
oleh Ikhwanul Muslimin seperti inilah yang membuatnya menjadi sebuah kelompok
pergerakan ber-identitas moderat namun konsisten dengan tujuan-tujuan
keislamannya, dengan cara inilah mereka berusaha menegaskan bahwa demokrasi
bisa tumbuh subur dan bersebelahan dengan Islam. Menepis anggapan bahwa
demokrasi adalah antitesa dari prinsip-prinsip Islam.
Untuk diketahui, Intisari
tulisan ini tidak begitu menyoroti secara lugas persoalan politik di Mesir yang
saat ini tengah menghadapi masa-masa kritis, yang bahkan oleh Presiden Rusia;
Vladimir Putin, dikhawatirkan akan meluas menjadi perang saudara, ulasan
singkat ini lebih khusus membahas sepak-terjang Ikhwanul Muslimin dengan
semangat pergerakannya yang sangat tersohor di dunia Islam, hingga bahkan di
dunia barat.
Perjalanan
Panjang Ikhwanul Muslimin
Ikhwanul Muslimin
didirikan oleh Syekh Hasan al-Banna di Kota Ismailiyah, Mesir pada Maret
1928. Ikhwanul Muslimin yang dalam
bahasa Arab diseebut al-Ikhwan al-Muslimun didirikan untuk mengajak dan
menuntut ditegakkannya syariat Islam, hidup dalam naungan hukum Islam, berpikir
secara benar, kembali kepada akal dan fikrah, dan bekerja serta mengabdi kepada
masyarakat dan umat. Pada perkembangannya tujuan-tujuan deklaratif dari
pergerakan Ikhwanul Muslimin menyebar hingga ke seluruh dunia.
Masa-masa awal
berdirinya Ikhwanul Muslimin, diwarnai dengan perjuangan menghadapi berbagai
pergolakan politik yang terjadi di negeri Mesir, tak jarang pergerakan yang
dilakukan di dalam negeri pun merembes keluar di kawasan Timur-Tengah. Pada
tahun 1948 Ikhwanul Muslimin juga turut berperang melawan Israel, disaat yang
sama Organisasi ini mulai berkembang dengan pesat. Pesatnya perkembangan
Ikhwanul Muslimin ditandai ddengan semakin aktifnya organisasi ini masuk ke
setiap lini kehidupan perpolitikan negeri Firaun, hal inilah yang kemudian
dijadikan sebagai alasan Ikhwanul Muslimin dibekukkan oleh Muhammad Fahmi
Naqhrasyi, Perdana Menteri Mesir saat itu.
Jelang satu tahun
kemudian, tepatnya pada 12 Februari 1949, pemimpin sekaligus pendiri Ikhwanul
Muslimin (Pemimpin Ikhwanul Muslimin biasa disebut Mursyid’an); Syekh Hassan
al-Banna meninggal dunia secara misterius (diduga dibunuh), setelah kematian
al-Banna, pemerintah (parlemen Mesir dibawah pimpinan Mustafa an-Nuhas Pasha)
masuk kedalam tubuh Ikhwanul Muslimin dan merehabilitasi organisasi tersebut
pasca pembekuan yang dilakukan oleh Naqhrasyi, dua tahun sebelumnya. Parlemen
Mesir menganggap bahwa pembekuan terhadap Ikhwanul Muslimin tidak sah dan
inkonstitusional, pada saat itu Ikhwanul Muslimin dipimpin oleh Hasan
al-Hudhaibi. Kemudian, tanggal 23 Juli 1952, Mesir dibawah pimpinan Muhammad
Najib bekerjasama dengan Ikhwanul Muslimin dalam rencana menggulingkan
kekuasaan monarki Raja Faruk pada Revolusi Juli. Tapi, Ikhwanul Muslimin
menolak rencana ini, dikarenakan tujuan Revolusi Juli adalah untuk membentuk
Republik Mesir yang dikuasai oleh militer sepenuhnya, dan tidak berpihak pada
rakyat. Karena hal ini, Jamal Abdul Nasir menganggap gerakan Ikhwanul Muslimin
menolak mandat revolusi. Sejak saat ini, Ikhwanul Muslimin kembali dibenci oleh
pemerintah.
Ketika Anwar Sadat
berkuasa, anggota Ikhwanul Muslimin yang dipenjara, satu-persatu mulai
dibebaskan. Hingga Anwar Sadat dijatuhkan oleh Hosni Mubarak, Ikhwanul Muslimin
dibawah pimpinan-pimpinannya; Umar at-Tilmisani, Muhammad Hamid Abu Nasr,
Mustafa Masyhur, Ma’mun al-Hudhaibi, dan Muhammad Mahdi memilih jalur pergerakan
yang moderat dengan tidak bermusuhan dengan pemerintah. Baru ketika Muhammad
Badie menjadi pemimpin Al-Ikhwan (sebutan lain Ikhwanul Muslimin) pada tahun
2010, arah pergerakan mulai berubah, Ikhwanul Muslimin yang sebelumnya telah
menjadi oposisi aktif di parlemen Mesir, kini semakin gencar mengkritisi
kebijakan pemerintah yang dinilai otoriter. Gerakan oposisi aktif Ikhwanul
Muslimin di periode kepemimpinan Badie mencapai puncak tatkala rezim Hosni
Mubarak akhirnya runtuh pada tahun 2011 lewat gelombang unjuk-rasa besar rakyat
Mesir, peran Ikhwanul Muslimin sangat besar dalam peristiwa ini. Hal ini
disadari benar oleh rakyat Mesir, hingga setahun kemudian, pada 2012, melalu
Pemilihan Umum paling demokratis dalam sejarah negeri Mesir, salah satu anggota
terbaik Ikhwanul Muslimin; Mohammed Morsi terpilih sebagai Presiden Mesir,
meski akhirnya dikudeta oleh Militer tepat setahun ketika memangku jabatannya,
terpilihnya Morsi sebagai presiden Mesir merupakan sejarah emas, pencapaian
terpenting dalam sejarah panjang pergerakan Ikhwanul Muslimin yang terus
berjalan konsisten dengan tujuan-tujuannya yang futuristik dan modernis.
Belajar
Dari Ikhwanul Muslimin
Sebagaimana yang
menjadi kenyataan saat ini, Ikhwanul Muslimin tengah menghadapi hari-hari
paling bersejarah, paling krusial, dan paling kritis dalam sejarah mereka,
gerakan ini bukan hanya sekarang bertarung dengan kekuatan sekuler dan liberal
yang menjadi antitesis dari pergerakan mereka, tetapi juga pihak militer dan
kapitalis yang telah menjungkalkan tokoh dan pencapaian terbaik dalam sejarah
pergerakan mereka. Pun demikian, pergerakan Ikhwanul Muslimin tetap berada pada
jalurnmya yang dikenal sangat konsisten. Konsistensi inilah yang patut menjadi
contoh bagi setiap kelompok dan organisasi pergerakan dimanapun itu dan apapun
madzhabnya. Menilik pergerakan kelompok-kelompok dan ataupun organisasi pemuda
yang terjadi di Indonesia yang cenderung tidak konsisten, nampaknya pergerakan
Ikhwanul Muslimin dapat dijadikan acuan pragmatis (Hilmi, 2013).
Di Indonesia,
pergerakan yang dimulai oleh angkatan muda sejak tahun 1928 yang ditandai
dengan ikrar sumpah pemuda, revolusi 1966, hingga reformasi 1998, tidaklah
konsisten antara tujuan dan hasilnya. Bagaimana revolusi 1966 kemudian
menciptakan kekuasaan otoriter orde baru, serta bagaimana reformasi 1998 yang
melahirkan situasi multi-kompleks seperti yang ada di negeri ini saat ini.
Kenapa revolusi dan reformasi gagal? Karena tujuan dan hasil akhir dari
Reformasi tidak saling konsisten. Dalam konteks ini kita harus banyak belajar
dari dinamika pergerakan yang diusung oleh Ikhwanul Muslimin, meski pada
akhirnya pencapaian dari perjuangan mereka dirampas oleh kudeta justru ketika
mereka berusaha menerapkan tujuan akhir dari perjuangan mereka, itu adalah
bagian dari koneskuensi yang telah mereka perhitungkan namun dengan sikap yang
berani tetap untuk dijalankannya, hal ini tak lain karena konsistensi mereka
terhadap tujuan dari pergerakan mereka, dan karena tujuan itulah maka sampai
dengan detik ini mereka berusaha untuk mengambilnya kembali. Sesuatu yang patut
diapresiasi, justru di saat-saat kalut seperti ini Ikhwanul Muslimin juga tidak
melenceng dari tujuan dan prinsip awal mereka, meskipun sudah berpuluh-puluh
dari anggota mereka yang terbunuh, mereka tetap konsisten pada jalur perjuangan
kooperatif, lebih mementingkan cara-cara yang lazim dalam dunia demokrasi
ketimbang mengangkat senjata dan menggaungkan kekerasan.
Sampai dimana
pergerakan Ikhwanul Muslimin akan tetapt konsisten pada jalur-jalur yang telah
ditetapkannya, akan terjawab nanti. Namun demikian, konsistensi gerakan adalah
ihwal yang harus dicontoh oleh setiap kelompok pergerakan (movement) di seluruh dunia, termasuk Indonesia, dengan inilah maka
pergerakan ataupun pembaruan menuju angin segar demokrasi yang maju dan
sejahtera dapat memiliki ruh-nya (al-jadid), antara tujuan awal dan khittah
akan mendapatkan jalan penghubung yang dapat dipastikan, bukan hari ini
bergerak untuk perubahan, justru esok kita sendiri yang merusak perubahan itu,
sebagaimana situasi yang umum terjadi pada tokoh-tokoh pergerakan negeri
ini.***
0 Komentar