Oleh:
Muhammad Guntur Cobobi
Duta Bahasa Maluku Utara
Belakangan isu yang paling sering
dibahas di forum-forum lokal, bahkan dalam
pemberitaan-pemberitaan media nasional adalah mengenai persoalan sengketa
agraria. Bukan hal baru, hanya saja isu tersebut kembali mengemuka pada
masa-masa dewasa ini. Ironisnya isu sengketa agraria muncul dengan gencar
justru ketika negara ini telah lama beranjak dari era pengekangan (orde baru)
menuju era pendewasaan demokrasi dengan nilai-nilainya yang universal, termasuk
didalamnya adalah dijamin dan ditinggikannya hak-hak masyarakat kecil.
Singkat cerita, sengketa agraria adalah
persoalan lama yang biasa terjadi di era orde baru (dengan rakyat sebagai pihak
yang selalu kalah dan dirugikan) dan kini muncul di era reformasi (era dimana
seharusnya kepentingan rakyat yang lebih diutamakan). Seperti anomali ketika
dari angka statistik di tahun 2012 saja setidaknya telah terjadi 160 kasus
sengketa agraria di seluruh wilayah Indonesia, akan berjumlah ribuan kasus
apabila data tersebut digabungkan dari tahun 1999 hingga 2013. Diantara banyak
kasus sengketa agraria yang terjadi, beberapa contoh terparah seperti yang
terjadi di Mesuji, Lampung dan Bima pada tahun 2012, telah menjadi preseden
buruk dalam kasus sengketa agraria di negeri ini, dimana untuk kepentingan
pengusaha bermodal besar, aparat-aparat negara justru dijadikan garda terdepan
dengan menggunakan senjata untuk membunuh rakyat di negaranya.
Salah satu contoh pelik mengenai
sengketa agraria adalah seperti yang terjadi Galela, Maluku Utara, dimana
masyarakat petani yang mengklaim sebagai pemilik tanah berhadapan dengan PT.
BWLM yang dengan “modal” hukum yang
dipegangnya mengklaim sebagai pemilik sah atas lahan yang ditinggalkan oleh PT.
GAI (Global Agronusa Industri) yang sebelumnya bergerak dalam usaha perkebunan
pisang cavendish. Kedua pihak yang
saling klaim memperebutkan lahan seluas 5.000 Ha (luas lahan sebagaimana yang
dicantumkan PT. BWLM yang termaktub dalam putusan MA No. 118/B/PK/PJK/2011)
yang berada di sisi utara Kecamatan Galela dan Galela Barat – Sisi selatan
Kecamatan Galela Utara. Sejak konflik
sosial yang melanda daerah ini tigabelas tahun yang lalu, sengketa antara
masyarakat dengan perusahaan berlangsung dengan ritme yang fluktuatif, dengan
beberapa peristiwa penting yang kadangkala muncul. Namun demikian, ketiadaan
solusi serta enggannya kedua-belah pihak untuk duduk bersama secara serius
membahas persoalan ini, membuat sengketa semakin berlarut-larut.
Keadaan ini,
diperparah dengan sikap Pemerintah Daerah yang cenderung diam, dikhawatirkan
justru akan semakin memperparah keadaan, mengingat semakin lama persoalan ini
semakin dianggap serius oleh kedua-belah pihak yang bertikai. Merunut kasus
serupa yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia, semisal Mesuji dan Bima,
lebih-lebih memperhatikan kondisi masyarakat Galela yang notabenenya adalah
daerah bekas konflik, maka kemungkinan konflik massif antara pihak yang
bertikai akan sangat mungkin terjadi. Terlalu dini memang, menyamakan kasus
sengketa agraria yang terjadi di Galela dengan sengketa agraria yang berakhir
konflik di Mesuji dan Bima yang beberapa
waktu lampau menghebohkan negeri ini, namun apabila dianalisa dengan cermat,
sengketa agraria di Galela bisa jadi (kemungkinan besar) akan berujung konflik
agraria sebagaimana yang terjadi di Mesuji dan Bima.
Dasar Persoalan dan Potensi Konflik
Pada
tahun 1996, pakar sosial; T.F. Hoult, mengatakan didalam tesisnya, bahwa
konflik agraria adalah suatu situasi proses, yaitu proses interaksi dua atau
lebih individu dan ataupun kelompok dalam memperebutkan objek yang sama, demi
kepentingannya. Dalam konteks agraria, objek tersebut tentu adalah tanah.
Pandangan T.F. Hoult tersebut, jika dikomparasikan dengan apa yang terjadi di
Galela, simpulan dasar dari akar konflik antara PT. BWLM dengan masyarakat
penggarap lahan kurang lebih seperti ini; masyarakat/petani membutuhkan tanah
mereka yang mereka klaim secara turun-temurun untuk memenuhi kebutuhan hidup
mereka sehari-hari, sementara di sisi yang lain PT. BWLM tentu sangat
menginginkan lahan bekas PT. Global Agronusa Industri untuk keharusan memenuhi
tujuan investasi mereka. Kondisi inilah yang merupakan titik awal masalah yang
perlu dicermati secara cerdik oleh semua pihak yang terlibat, pun juga oleh
pemerintah.
Berangkat
dari titik awal yang disebutkan tadi, sebenarnya persoalan ini jika dilihat
dari sudut pandang yang sederhana, maka tentulah kepentingan rakyatlah yang
harus dikedepankan, mengingat belum tentu keberadaan PT. BWLM di Galela
memberikan dampak positif bagi pembangunan disana. Terkait dengan fakta ini,
ada beberapa persoalan yang diklaim oleh petani pemilik/penggarap lahan sebagai
kekuatan dan alasan logis yang membenarkan pendudukan mereka ke atas lahan eks
PT. GAI, diantaranya adalah:
- Masuknya PT. GAI ke dalam lahan produktif yang mana ini tidak sesuai dengan prinsip Hak Guna Usaha (HGU), dimana PT. GAI telah memusnahkan puluhan ribu tanaman kelapa dan pala milik masyarakat, ini dilakukan sambil menkut-nakuti masyarakat yang tidak memberikan lahannya akan berurusan dengan polisi, ini terjadi pada tahun awal masuknya PT. GAI (1991).
- PT. GAI mengingkari janjinya terhadap masyarakat, terkait dengan lahan cadangan yang hingga kini masih menjadi mitos.
- PT. GAI telah secara jelas melanggar Izin Prinsip Gubernur (waktu itu: Maluku), tertanggal 23 Mei 1991, nomor: 570/58. Yang terdiri dari beberapa poin, seperti tidak menebang hutan sagu dan hutan mangrove, namun pada prakteknya, PT. GAI malah membabat habis hutan sagu yang ada, begitupun hutan mangrove yang sekarang sedang direhabilitasi oleh dinas kehutanan.
- PT. GAI melanggar Surat Izin Prinsip Gubernur yang berbentuk instruksi kepada Kepala Daerah Tingkat II Maluku Utara, tertanggal 9 November 1991, nomor: 503/149, yang isinya membatasi lahan atau kebun rakyat yang masuk dalam proyek SCDP untuk tidak dibebaskan, kenyataannya PT. GAI malah menyerobotnya juga. Selain itu perusahaan juga masuk hingga ke areal bandara Gamarmalamo yang sebenarnya tidak dibenarkan.
- Melakukan pembohongan kepada masyarakat, perumpamaan yang menjadi penegasan adalah lahan petani yang sedianya dibayar oleh PT. GAI sebesar Rp. 20.000.000 ternyata baru dibayarkan sebesar Rp. 2.300.000.
- Kerugian petani kelapa
Sesuai dengan lahan yang diganti rugi oleh PT. GAI seluas kurang
lebih 4500 Hektar, sementara jarak tanam pohon kelapa pada umumnya di kecamatan
Galela adalah 7 M/segi, jika dalam 1 Hektar maka dapat ditanami 196 pohon
kelapa. Dalam 80 pohon kelapa, hasil produksinya mencapai 1 ton/1000 kg, jika
dikalkulasikan maka dalam 1 hektar lahan kelapa dapat menghasilkan kopra hingga
2 ton/2000 kg. adapun jika 2 ton dikalikan dengan 4500 hektar, maka hasil
produksi kopra petani kelapa mencapai 9000 ton per 4 bulannya. Dengan demikian,
9000 x 7500/kg = 6,750 M. lalu 6 M dibagi 4, maka penghasilan masyarakat yang
lahannya diganti rugi oleh PT. GAI perbulannya adalah Rp. 1.687.500.000 (satu
miliar enam ratus delapan puluh tujuh juta lima ratus ribu rupiah). Angka ini, apabila
dikalkulasikan dari sejak tahun 2000 s/d 2010 maka kerugian masyarakat adalah Rp. 202.500.000.000 (dua ratus dua
miliar lima ratus juta rupiah). *data sebagaimana tercantum dalam data rilis GNPK-Halut 2011.
Sementara
itu pihak PT. BWLM yang notabene adalah pewaris PT. GAI meyakini bahwa kekuatan
hukum yang dipegang oleh mereka sudah cukup untuk melawan masyarakat petani di
Galela dengan semakin agresif menyudutkan petani. Salah satu diantaranya adalah
dengan tindakan pada bulan April 2013 lalu, mereka dengan pengawalan aparat
kepolisisan memasang plang di sepanjang lahan yang mereka klaim dengan tulisan
provokatif kurang lebih seperti ini: “Dilarang Mengadakan Aktivitas Apapun di
Lahan Milik Perusahaan…..”. Arogansi perusahaan semakin terlihat ketika pada
tanggal 25 Oktober lalu, melalui surat edaran yang disebar ke desa-desa di
Kecamatan Galela dan dibacakan di Masjid setelah Shalat Jum’at, mereka
meng-ultimatum petani-petani yang dituding berada di lahan yang mereka klaim
untuk merelakan agar lahan garapannya diukur, dan deadline ultimatum tersebut
berakhir pada tanggal 15 November 2013. Disebutkan juga di akhir ultimatum
tersebut: “barangsiapa yang tidak mau diukur lahannya, maka resikonya
ditanggung sendiri…!”
Bagi
siapapun yang menganalisa, tentulah ultimatum tersebut sarat dengan aroma
provokatif, arogansi kapitalis yang seharusnya dihilangkan seiring dengan
lahirnya reformasi seakan-akan dimunculkan dan menantang upaya pembangunan
kesejahteraan manusia di negeri ini. Jika dicermati lebih jauh, kedua-belah
pihak yang bersengketa punya kekuatan untuk mempertahankan klaim masing-masing,
namun demikian, apabila salah satu pihak, baik perusahaan maupun rakyat
bertindak di luar koridor yang seharusnya, maka tentulah situasi konflik
berpotensi besar akan terjadi, lebih-lebih aparat dalam kondisi seperti ini
lebih cenderung menjadi bargaining korporasi
ketimbang berada di pihak netral sebagaimana seharusnya. Kondisi ini agak
mirip-mirip dengan kondisi yang terjadi pada tragedy berdarah Bima dan Mesuji.
Bukan hal yang tidak mungkin apabila benar ultimatum tersebut melewati tenggat
waktu sementara di sisi yang lain petani pemilik/penggarap lahan tidak
meresponnya, dan perusahaan melakukan tindakan sebagaimana yang tersirat dalam
“edaran jumat” tersebut, sudah barang tentu kondisi yang terjadi akan diluar
kendali. Konflik agraria pasti akan terjadi di Galela.
Sinergitas,
Untuk Kepentingan Bersama
Dalam
sebuah jurnal yang bertopik; The Agrarian
Economies of Central and Eastern Europe and the Commonwealth of Independent
States, yang dipubulikasikan oleh Bank Dunia, John
Nash mengemukakan bahwa problem solving atas sengketa agraria perlu
dirumuskan secara terpadu, sesuai dengan kondisi sosial-geografis masyarakat
setempat. Upaya untuk mencari win-win solution untuk menghindari
sengketa berubah menjadi konflik agrarian dalam skala massif.
Dalam
konteks ini, semua pihak yang terlibat dalam sengketa agraria PT. BWLM dan
masyarakat Petani di Galela haruslah menahan diri. Pemerintah sebagai pemegang
kebijakan tertinggi juga harus menunjukan peran sentralnya, setidaknya sebagai
pihak yang memediasi dan juga menegur pihak yang keluar jalur dan bertindak
sendiri-sendiri. Dalam kaitannya dengan ini, perlu pedoman khusus yang
dihadirkan dalam bentuk peraturan daerah yang sebelumnya disosialisasikan
secara efektif kepada publik, aturan-aturan ini bias dijadikan sebagai acuan
untuk upaya mencari solusi terbaik dan jalan keluar bagi sengketa yang telah
berlangsung selama hamper satu dekade ini.
Apapun
itu, kita semua mesti berkaca pada tragedi yang telah terjadi di Bima dan
Mesuji yang telah menimbulkan banyak korban jiwa, Galela sebagai daerah bekas
konflik tentu akan semakin memperbesar resiko terulangnya tragedi kemanusiaan
tersebut apabila semua pihak yang terlibat tidak mengambil jalan dan sikap yang
benar. Untuk itulah, maka sangat dibutuhkan sinergitas banyak pihak demi untuk
kepentingan bersama. Rakyat petani dalam hal ini, haruslah tidak terpancing
emosinya sehingga bertindak melampaui aturan yang berlaku, PT. BWLM juga tidak
seharusnya memaksakan kehendaknya ketika persoalan ini masih belum
diselesaikan, bagaimanapun PT. BWLM harus menghentikan agresifitas dan
arogansinya yang menyulut emosi masyarakat petani di Galela. Sementara itu,
Pemerintah Daerah harus menunjukkan peran aktif untuk segera menghadirkan
solusi terpadu bagi persoalan ini, demikian halnya aparat Negara yang selama
ini cenderung berada di salah-satu pihak, harus kembali memperbaiki posisi
mereka sebagai lembaga yang netral. Jika semuanya dijalankan sebagaimana
mestinya, meminjam kata-kata Ben Cousins; Dalam sengkarut sengketa pertanahan,
situasi konflik harus terlebih dahulu dihilangkan, agar solusi dapat segera
dicarikan. Semoga saja. ***
*Pernah dimuat di Malut Post
0 Komentar