oleh:
Muhammad
Guntur
“Tarate sio Tarate, Tarate ruru masaya roriha
Tarnate sio Tarnate, Tarnate ri’uwa
doka sosira”
-Pantun, Tradisi Lisan Ternate
Aku ingat kali pertama aku menjejakkan kaki di Mindanao, hari
itu angin bertiup kencang sekali, beberapa daunnya yang telah kering jatuh tak
beraturan. Tetapi laut tetap tenang tanpa gelombang, tentulah ini sangat
misterius. Sementara itu seorang lelaki kecil berpostur Sangir di kejauhan
kuperhatikan sedang kebingungan mencerna kenapa laut tenang kala angin seperti
membadai.
Itu juga adalah hari pertamaku di sebuah perkampungan
nelayan kecil di pulau Samal yang berada tepat didepan kota Davao, ibukota
Mindanao. Sebuah pulau yang hampir mirip luas dan bentuknya dengan pulau yang
menjadi tanah kelahiranku; Ternate. Hanya saja pulau ini tidak bergunung
seperti halnya Ternate dengan Gamalama-nya. Tidak ada yang istimewa dari pulau
ini selain resort-resort mewah yang menganeksasi beberapa wilayah pantai
berpasir putih lembut untuk memanjakan turis-turis, selebihnya di sisi-sisi
lain pulau hanya perkampungan-perkampungan nelayan yang dipagari oleh
pohon-pohon kelapa yang rimbun menjulang.
“Ulan..! Ulan..! Kamari” pemandu kami terlihat melambaikan
tangannya ke arahku, bersamaan dengan turunnya beberapa tetes air hujan. Ia
berteriak dengan bahasa Tagalog yang beberapa diantaranya kuketahui. Aku
mengerti bahwa ia memanggilku.
“Okay.. Okay!” Balasku setengah berteriak, namun suaraku
hilang dilarikan arus angin yang bercampur butir-butir air.
Sebelum bergegas, sekilas kulihat, lelaki kecil yang tadi
kebingungan mulai mengumbar senyum menyambut jawaban yang turun bersama hujan
yang semakin menderas, ia pun segera meninggalkan tempat itu bersamaan dengan
semakin kasarnya liukan pohon-pohon kelapa yang berbaris disepanjang pantai.
Setelah menempuh perjalanan yang panjang, itu menjadi hari yang
sangat menguras tenaga. Lelah tidak segera membawaku merehatkan diri. Hanya ada
kekaguman membentang di penjuru sanubari, betapa sangat berkecamuk dadaku
menginjakkan kaki di tanah yang ditegaskan dalam lirik Rorasa pada prosesi pelantikan sultan Ternate; “Mie gudu-gudu Sulu se Mindano”. Ya!,
tanah ini dulunya adalah salah satu wilayah di utara terjauh yang ditaklukan
oleh imperium Ternate sebagai perwujudan nazar Babullah Datu Syah yang
menasbihkan diri sebagai raja Maluku (Tjandrasasmita, 2016: 66), sebuah fakta
yang turut menjadi legitimasi betapa digdayanya negeriku itu di masa lampau.
Seperti angin yang menerbangkan daun-daun kelapa kering
secara paralel ke arah timur-laut, pikiranku tiba-tiba terbawa kembali ke
negeriku. Ternate, sebuah negeri yang besar, sebagaimana orang-orang disana
menyebutnya; Gamlamo!. Aku kemudian
bertanya-tanya, jika saja tidak ada Baabullah dengan tekad mengusir orang-orang
Portugis yang berbuah kemenangan perdana perjuangan nusantara atas orang Eropa
pada 26 Desember 1575 apa mungkin akan terjadi perentangan sejarah berupa
kemenangan-kemenangan sejati bangsa-bangsa di kepulauan nusantara atas
orang-orang dari Eropa? Jika saja pala (Myristica
fragrans) dan cengkeh (Syzygium
aromaticum) tidak pernah tumbuh di tanah itu, apakah mungkin seorang
navigator Portugis bernama Vasco da Gama berhasil mencapai Tanjung Harapan dan
menemukan jalan menuju ke ‘dunia baru’ pada tahun 1453? Apakah mungkin akan ada
Indonesia seperti yang kita kenali kini?.
Pikiranku dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang retoris,
lalu kesimpulanku berkulminasi pada pernyataan; imperium Ternate adalah sebuah
jembatan yang menghubungkan berbagai peradaban dengan sejarah besar dan masa
depannya masing-masing. Ini sama seperti Kekaisaran Makedonia yang ‘melahirkan’
Romawi, begitu juga dengan Mongolia yang ‘melahirkan’ China pra-modern. Aku
tertegun, tercengang pada sebuah fakta bahwa aku baru saja menginjakkan kakiku
pada salah-satu negeri, dimana leluhurku dulu pernah menguasainya. Mungkin inilah
kenapa aku menjadi peduli pada perjuangan para leluhurku itu menerjang ganasnya
gelombang barat-daya lautan maha luas yang kemudian dinamakan oleh Ferdinand
Magelhaens sebagai Mar Pasifico yang
artinya; Lautan Teduh. Pada
kenyataannya perjalanan mereka tak punya garansi pulang kembali ke tanah asal,
sebab Mar Pacifico nyatanya adalah
lautan dengan ombak dan badai paling brutal dan paling misterius yang ada di
bumi. Badai yang menjemput kedatanganku di hari itu masih bukan apa-apa. Aku
heran, kenapa pula si Magelhaens menamakannya ‘Lautan Teduh’.
Aku sempat berbincang dengan seorang peneliti, dia bilang
orang-orang Mindanao lebih suka disebut sebagai orang Moro, bukan orang
Filipina. Bagi mereka, Filipina memiliki sejarah penamaan yang menyakitkan hati
sebab dinamai oleh orang-orang Spanyol untuk menghormati putera mahkota
kerajaan Spanyol yang kemudian menjadi raja, dialah Phillip II.
“Lalu kenapa mereka disebut ‘Moro’, bukankah sebutan ‘Moro’
juga berasal dari orang-orang Spanyol?.” Aku bertanya.
“Ya benar!”
“Sebutan Moro berasal dari julukan orang-orang Spanyol
sesaat ketika mereka berhasil merebut Al-Hambra dan menguasai kembali Andalusia
dari kekhalifahan Islam yang telah berlangsung selama delapan abad. Istilah
Moro dialamatkan kepada siapapun yang memeluk Islam”. Ia berhenti sejenak,
seperti mencari-cari isi ingatannya.
“Kenapa orang-orang Mindanao senang dengan sebutan itu,
karena bagi mereka ‘Moro’ adalah identitas yang menghubungkan mereka dengan
saudara muslim mereka yang lain, seperti orang Moro yang terusir di Spanyol dan
juga orang-orang Moro di Halmahera yang mendapatkan sebutannya dari Portugis”.
Ia melanjutkan jawabannya.
Aku termenung sejenak, pada tahun 1760 hingga 1800 melalui
sebuah aliansi tidak bernama, kelompok bajak laut Moro Mindanao (Balangingi)
dan kelompok bajak laut Moro Halmahera (Tobelo-Galela) melakukan operasi bajak
laut yang menciptakan instabilitas keamanan di kawasan (Vethoen, 2005). Ini
seperti sebuah simfoni sejarah, penegasan kembali bahwa di masa lalu
orang-orang di selatan Filipina ini memiliki keterikatan yang sangat dalam
dengan negeriku, berada disini berasa seperti berada di negeriku pada masa
lalu.
Ketika gelombang nasionalisme mulai bergerak menyusuri
pulau-pulau dari ujung timur Samudera Hindia ke ujung selatan Pasifik, ide
pokok tentang Indonesia muncul dengan semangat mempersatukan nasib dan derita
dibawah penjajahan Belanda. Ternate saat itu bukan lagi sebuah imperium yang
kuat, kolonialisme Belanda yang dimulai oleh VOC membangun garis demarkasi
kekuasaan monopoli eksklusifnya, melalui Oktrooi
20 Maret 1602 mereka telah secara intuitif menjadikan seluruh Kepulauan Maluku
sebagai bagian strategis penguasaannya.
Singkat waktu, tahun 1945, Republik Indonesia kemudian
berdiri. Merasa sebagai bagian perjuangan, Ternate mengintegrasikan diri
sebagai bagian yang integral dari Indonesia, berikut wilayah-wilayah yang
dikuasainya. Maka sistem pemerintahan tradisional pun dikonversi kedalam sistem
pemerintahan modern; sebagai Indonesia dan semua ide-idenya. Pikirkan, pada
tahun 1500 Jakarta masihlah sebuah pesisir yang hanya dihuni oleh buaya muara,
sedangkan Ternate sudah menjadi kota pelabuhan penting yang duaratus tahun
lebih maju, pada 1945 (empat abad kemudian) Jakarta justru berbalik duaratus
tahun lebih maju dari Ternate, dan saat ini justru sudah ribuan tahun lebih
maju.
Sudah lebih dari seperdua abad, Ternate (beserta Halmahera
dan sekitarnya) menjadi Indonesia, dan apa yang terjadi, imperium besar itu
kini ‘hanya’ menjadi sebuah kota pulau kecil yang terus saja tertinggal dari
segi pembangunan. Pada tahun 1958, oleh Soekarno; Ternate bersama dengan Tidore
beserta sisa-sisa kekuasaan tradisionalnya dilebur kedalam Provinsi Maluku yang
identik di selatan, ini sekaligus menandai berakhirnya era The Real Maluku bahkan ketika Provinsi Utara dibentuk pada 4
Oktober 1999, semangat Moloku kie Raha yang
pernah berkobar tidak kunjung menyala kembali. Nasib Mindanao juga tidak lebih
baik, hal ini berlangsung sejak integrasi sepihak yang dilakukan ketika negara
Filipina dideklarasikan pada 4 Juli 1946 (Belwood dkk, 1995: 41). Sejak bersama
Filipina, mereka terus hidup dengan konflik, sesuatu yang kemudian mungkin
dirasakan oleh Ternate dan sekitarnya pada tahun 1999.
Tahun 1999 bagiku adalah tahun yang penuh dengan ironi, dimana
sebuah perjalanan sejarah coba dibangkitkan dengan anomali yang berdarah-darah.
Ternate modern bersama Maluku Utara adalah cita-cita yang baru dimulai tetapi
harus dibangun dari puing-puing kehancuran. Aku ingat, suatu sore di waktu
kecilku, tepat beberapa hari ketika perang Halmahera memulai hingar-bingarnya
yang penuh dengan kematian. Dari pintu gudang kopra yang diubah menjadi kamp
pengungsian orang-orang Galela, aku menyaksikan iring-iringan manusia
berpakaian serba putih berbaris menuju garis depan peperangan, sebuah
pemandangan yang mirip aliran sungai berwarna susu. Meriap-riap, sesekali
senapan, sesekali tombak, sesekali parang, serta logam-logam senjata lainnya
tertimpa cahaya senja. Beberapa kendaraan menyelingi seperti meringkik, entah
menderu, entah menyanyi, entah mengerang, mewarnai senja merah. Lalu aku sadar
pembunuhan sedang terjadi.
Suatu waktu, baru kemudian aku tahu, senapan-senapan
otomatis yang berada di bahu pasukan-pasukan sipil itu selain dibuat sendiri,
diambil dari sisa peninggalan Jepang, juga didatangkan langsung dari Mindanao,
sebuah wilayah yang juga dirundung perang sipil berpuluh-puluh tahun antara
orang-orang Moro melawan pemerintahan Filipina.
Entah bagaimana ini bisa terjadi. Bagiku, interaksi sejarah
sedang berlangsung. Laut Pasifik kembali menjadi penghubung dari tiap daratan
yang dulu pernah dipersatukan oleh Babullah, ini seperti pengulangan dari
sebuah episode masa, dimana orang-orang Mangindanao yang mengasosiasikan diri
dalam kelompok bajak laut Balangingi membangun koalisi antar-pulau dengan
kelompok bajak laut Tobelo-Galela.
Entah kenapa, di tanah itu pikiranku justru tergiring
kedalam bayang-bayang sejarah besar itu, mengadopsi sebuah fatamorgana
sebagaimana tergambar dalam cerita “Lelaki Yang Membelah Bulan” yang entah
dengan dasar apa dibentuk oleh Kusumawardhani dengan keanehan-keanehan yang
mengagumkan. Suatu alasan tanpa korelasi yang membuatku menjuluki negeriku
diseberang laut sebagai “Negeri dibalik Bulan” dan memperkenalkan diriku
sebagai Lelaki Bulan, sama seperti orang Moro di Mindanao distigmatisasi oleh
orang Spanyol sebagai pembunuh yang keluar di malam hari dan berperang hanya
dibawah cahaya bulan (Giraldez, 2015: 99), yang klimaksnya Ferdinand Magelhaens
pun mati ditangan atau ‘orang-orang bulan’.
Lalu hujan semakin deras, lelaki Sangir, bangunan resort
kecil beratapkan daun rumbia, rintik yang mengacaukan formasi pasir dan kerikil
pantai, serta Mindanao dengan hutan rimbanya yang berisik oleh desingan peluru
dan suara senapan orang-orang Moro yang masih terus menyalak. Semua itu adalah
antitesis dari imajinasi kompleks yang entah berapa ratus detik melintas di
pikiranku; Lelaki bulan, dari Negeri dibalik Bulan dengan sebuah konvergensi;
Ternate dan semua yang pernah dimilikinya.
Terjemahan Istilah/Bahasa Lokal:
1. Ulan: Hujan,
2. Kamari: Kemari, 3. Gudu-Gudu Sulu se Mindano: Yang Paling jauh
Sulu dan Mindanao ,4. Gamlamo: Negeri yang besar, 5. Tarate sio
Tarate, Tarate ruru masaya roriha. Tarnate sio Tarnate, Tarnate ri’uwa doka
sosira: Teratai wahai Taratai,
Teratai hanyut kembangnya merah. Ternate wahai Tarnate, Ternate tidak seperti
dahulu.
Referensi:
Tjandrasasmita, Uka.
2016. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia
Vethoen, Ether. 2005.
Sailing in Dangerous Waters: Piracy and
Raiding in Historical Context. IIAS Newsletter Volume 36.
Bellwood,
Peter; Fox, James; & Tryon, Darrell. 1995. The Austronesians: Historical
and comparative perspectives. Kanbera: Department of Anthropology,
Australian National University.
Giraldez,
Arturo. 2015. The Age of Trade: The
Manila Galleons and The Dawn of The Global Economy. New York: Rowman and
Littlefield.
Padahal Ambon ke Ternate tinggal lompat. Tp saya belum punya kesempatan buat nyambangi pulau ini, i wish next time harus ke sana.. Pengeeeeen banget ke sana, keliling Ternate melompat ke Tobelo, keliling Tidore melihat gurabunga ^^
BalasHapuskeren
BalasHapus
BalasHapusBismillahir Rahmanir Rahmanir Rahim
https://keep.line.me/s/9yByraYHzAECzHFQMiLZbeKfw0DgqfRoutB4EEtdJVI
Salam dan renungan
Web: almawaddah.info
Kepada;
Yang dihormati Para rektor universiti, para akademik dan para mufti.
Tun, Tan Seri/Datuk Seri/Datin Seri/Datuk/Datin/tuan/puan.
Perkara: "Akidah Ahli Sunnah Wal Jamaah yang bertentangan dengan al-Qur'an dan ayat-ayat al-Qur'an yang bertentangan dengan akidah Ahli Sunnah Wal-Jamaah" sebagai kajian dan renungan. Diambil dari web: almawaddah.info
1. Tidakkah al-Qur'an itu asas agama Islam yang diredai oleh Allah dan Rasul-Nya?
2. Tidakkah Islam itu rahmatan lil Alamin?
Terima kasih dan 'afwan.
Daripada;
Pencinta al-Qur'an sebagai asas agama Islam di Malaysia.