![]() |
Perbatasan Meksiko-AS | via www.ecnmy.org |
Tulisan ini adalah tugas
mingguan mata kuliah Negara, Masyarakat dan Pasar, pada studi
pascasarjana Antropologi Sosial, Universitas Indonesia. Kali ini
membahas tentang tulisan Petter Vandergest dan Nancy Lee Peluso,
Scott serta J. Migdall tentang konsep teritorialisasi dan mental
maps.
Petter Vandergest dan
Nancy Lee Peluso mengatakan bahwa negara modern menganut Strategi
teritorialisasi ruang dalam mengatur warga negaranya. Teritorialisasi
ruang adalah klaim yang dibangun berdasarkan patok-patok batas
kewilayahan. Di sini, teritorialisasi dibangun sebagai definisi
relasi antara pusat-pinggiran. Karakter lokal atau regional.
Vandergest dan Peluso (1995: 387) mengatakan bahwa konsep
teritorialisasi adalah pembagian wilayah berdasarkan zona-zona
politik dan ekonomi yang kompleks dan kadangkala tumpang tindih, di
dalam zona-zona ini penduduk diatur dalam unit-unit tertentu untuk
kemudian dibuat aturan yang membatasi dan oleh siapa wilayah tersebut
dimanfaatkan. Proses ini mengandalkan pembuatan peta (maping),
sensus penduduk, penggolongan kawasan hutan, batas hutan dan jumlah
pemukiman.
Teritorialisasi adalah
upaya mempengaruhi atau mengendalikan orang dengan membatasi dan
menegaskan kontrol atas wilayah geografis, tentang mengecualikan atau
menganggap orang-orang tertentu termasuk ke dalam batas-batas
geografis yang telah dibangun. Lebih jauh, teritorialisasi
difungsikan untuk mengendalikan apa yang dilakukan orang dan akses
mereka ke sumber daya alam yang berada di dalam batas-batas itu.
Vandergest dan Peluso
juga mengangkat contoh kasus di Indonesia, di mana teritorialisasi
terjadi pada batasan pengelolaan ekonomi, negara hanya mengendalikan
orang dan hubungannya dengan sumberdaya berbasis lahan, di sini
negara cenderung membangun legitimasi atas wilayah-wilayah yang
secara fisik berada dalam penguasaannya. Implementasinya negara
mengklaim hak kepemilikan sumberdaya alam yang mencakup wilayah air,
bumi dan udara (di Pasal 33 UUD) sebagai milik negara dan
pengelolaannya dikontrol penuh oleh negara. Problematika seperti
inilah yang kadang-kadang memicu munculnya penolakan klaim teritorial
oleh negara, seperti yang sering terjadi dalam kasus penetapan hutan
lindung atau taman nasional atau area lingkar tambang. Meski di sisi
yang lain negara telah meningkatkan kapasitas dan kemauannya untuk
menerapkan cara-cara kekerasan untuk menegaskan kontrol penggunaan
lahan tersebut.
Sedangkan James C. Scott
dalam tulisannya Seeing like a State di
chapter pertama lebih banyak mengulas tentang konsep kehutanan yang
tidak sekedar dipandang sebagai sumber pendapatan negara melalui
pengelolaan hasil hutan seperti kayu dan juga komoditas turunannya
yang lain, hutan memiliki artian lebih dari itu, di mana negara hadir
dengan kebijakan-kebijakan ekologis yang pada muaranya berhubungan
langsung dengan kehidupan masyarakat sekitar hutan, sebab interaksi
manusia dengan hutan adalah keniscayaan.
Di chapter kedua, Scott
membahas tentang kota sebagai salah satu produk institusi negara
modern, karena itulah kota dibangun dengan standar-standar ukuran
ruang tertentu. Selain standar, orde atau keteraturan bentuk pun
digunakan seperti jalan yang lurus, sungai-sungai yang lurus dan
mengalir cepat, dan pola bangunan yang berulang. Dengan keteraturan
arsitektural di kota itu, negara mencanangkan perannya dalam
mempolarisasi bentuk pemukiman dan kehidupan yang berlangsung di
dalamnya dengan lebih tertata, sesuai dengan bagaimana bentuk kota
tersebut.
Sementara di bacaan yang
lain, Virtual Checkpoint dan Mental Maps yang ditulis oleh Migdal
mendefinisikan istilah geografis tersebut sebagai batas di mana
orang-orang mengkonfigurasikan dunianya berdasarkan familiar tidaknya
sebuah ruang. Migdal (2004: 5) menganalogikan batas (boundaries)
sebagai sebuah hal di mana ketika 'kita' berawal dan 'mereka'
dimulai. Sesuatu yang berada di dalam batas itu adalah kita dan yang
di luar batas tersebut adalah orang-orang yang kita sebut mereka.
Migdal mendefinisikan boundaries sebagai
gabungan dua pemisah sederhana yaitu virtual checkpoint dan mental
maps.
Virtual Checkpoint
mengacu kepada situs dan praktik di mana separasi terjadi antara
masyarakat yang satu dengan yang lain, di batas ini pula lah mereka
dibedakan, dari apa yang dikenakan, dari aksen, bahasa hingga dari
ciri-ciri yang senantiasa familiar ada di komunitasnya. Sebagai satu
contoh, ketika Israel pertama kali berdiri, batas negara tersebut
tidak hanya ditandai dengan tembok-tembok besar dan tinggi atau
banyaknya frekuensi barikade yang diisi tentara, tetapi oleh
keberadaan orang-orang Arab, di mana terdapat orang Arab maka
disitulah batas negara Israel.
Sedangkan
Mental Maps adalah boundaries yang
dikonstruksi dan dipelihara dari pikiran masyarakat yang secara
mental menseparasi mereka dengan hal-hal (orang atau sesuatu) yang
oleh negara dianggap sebagai 'the others'
atau yang di dalam tulisannya Migdal sebut sebagai 'Alien'. Mental
Maps adalah sebuah konfigurasi spasial, loyalitas
yang dipegang oleh orang-orang di suatu kelompok, emosi dan gairah
yang dibangkitkan, dan ide-ide kognitif mereka tentang bagaimana
dunia dibangun. Semua ini bertindak untuk membangun dan memelihara
keterikatan orang-orang satu dengan yang lain, tetapi dalam
melakukannya, di saat yang sama mereka menseparasi diri mereka dengan
yang lain.
Untuk
menyederhanakan pemahaman tentang Mental Maps, saya mencontohkan
(jika tidak keliru) sebuah novel fiksi ilmiah berjudul Divergent,
novel karya Veronica Roth yang telah difilmkan ini menceritakan
tentang manusia dewasa yang diklasifikasi kedalam 5 faksi menurut
karakter mereka masing-masing, yakni; Candor, Erudite, Amity,
Dauntless dan Abnegation, masing-masing faksi saling melindungi
anggota faksinya masing-masing dengan memperjuangkan sifat yang
'natural'
di faksi tersebut, dari situ mereka menseparasi faksi mereka dengan
faksi yang lain, terlebih kepada divergent (non faksi) yang bagi
mereka harus dimusnahkan. Dalam Mental Maps, pembedaan terjadi pada
point of view,
yang dikonstruksi melalui tempat-tempat, kota, sungai atau
gambaran-gambaran lain yang familiar dan seperti menjadi nature
masyarakat
tersebut untuk kemudian membedakan mereka dengan yang lain dalam
aspek dari mana mereka berasal.
Secara
aktual saya menawarkan contoh lain tentang bagaimana Mental Maps
sebagai boundaries yang
menjadi separasi antara masyarakat suatu negara dengan masyarakat
negara yang lain, kita
dapat melihatnya dalam lagu-lagu kebangsaan yang di dalamnya termuat
lirik-lirik lanskap keindahan alam di negaranya, bahwa negaranya
adalah tempat yang paling indah dibanding tempat lain, bahwa
gambaran-gambaran tersebut ditransmisikan (dikonstruksi) untuk
kemudian seperti mengatakan bahwa negeri kita berbeda dengan negeri
mereka atau negeri-negeri yang lain.
Referensi
Migdal, J., 2004. "Mental
Maps and Virtual Checkpoints: Struggles to Construct and Maintain
Social Boundaries" dalam Joel Migdal [Ed.] Boundaries and
Belonging: States and Societies in the Struggle to Shape Identities
and Local Practices. Cambridge: Cambridge University Press: hal.
3-23.
Scott, J. 1998. Seeing
like a State: How certain Schemes to Improve the Human Condition have
Failed. New Haven: Yale University Press. Chapter 1 dan 2.
Vandergeest, Peter and
Nancy Lee Peluso. 1995. Territorialization and State Power in
Thailand. Theory and Society 24 (3): 385-426.
0 Komentar