![]() |
Buku Melvin D. Williams | Dok. Pribadi |
PENDAHULUAN
Melalui
buku ini, Williams ingin menggambarkan secara lebih jelas bagaimana perilaku
dan karakteristik keagamaan sekte kulit hitam dengan menjadikan perkumpulan
sion sebagai titik berangkat komunitas yang menjadi tempat mereka bernaung.
Bagi Williams, Gereja Sion telah menjadi unit penelitian antropologis yang
dapat dikelola untuk menyelidiki sistem perilaku manusia yang dinaunginya.
Baginya lebih lanjut, gambaran antropologis tentang sifat hubungan sosial dalam
Sion ini mencerahkan dan heuristik untuk penelitian lebih lanjut. Williams
membahas penelitian terdahulu tentang pantekostalisme yang umumnya berhipotesis
bahwa kelompok-kelompok sektarian ini merupakan pelarian dari anomi dan upaya untuk
membangun kembali "komunitas" di bawah kondisi keterasingan dan tidak
adanya norma yang mengatur hidup mereka. Penelitian Williams pada dasarnya
mencoba untuk menguji sifat kohesif dari hubungan sosial dan perilaku satu
kelompok orang kulit hitam.
Faktor
agama adalah variabel paling signifikan dalam perilaku orang kulit hitam yang
telah diamati oleh Williams dan dicontohkan oleh sifat kohesi komunitas yang
diciptakan oleh agama di antara ghetto Orang kulit hitam yang dianggap memiliki
ikatan komunitas yang longgar. Dalam konteks religiuslah Sion mengembangkan
definisi bersama tentang perilaku manusia. Williams mengatakan bahwa agama
adalah salah satu cara paling signifikan di mana masyarakat saling menjamin
kesediaan mereka untuk mengorbankan tujuan pribadi demi kepentingan bersama.
Ini tidak berarti bahwa mereka sangat religius atau bermoral. Alih-alih,
afiliasi keagamaan harus diambil untuk apa adanya — jaminan publik akan
kemampuan seseorang terhadap masalah-masalah kelompok, apakah seseorang kebetulan
"bermoral" atau tidak.
Di
pembukaan tulisannya, Melvin D. Williams mengatakan bahwa memahami orang kulit
hitam di Amerika Serikat menjadi tugas penting bagi para ilmuwan, sebab ketika
pemahaman itu didapat, maka akan menjadi kontribusi penting terhadap pengetahuan
kita tentang perilaku manusia. Williams berpendapat bahwa sejauh ini, sebagai
pengamat fenomena manusia yang terikat oleh budaya, kita telah lalai untuk
melindungi penelitian kita secara memadai tentang orang miskin perkotaan yang
buruk dari karakteristik distorsif manusia pada umumnya. Menurut Williams,
dengan kriteria pencapaian, pengakuan, status, prestise, kompetisi, kekayaan
materi, kekuasaan, dan ya, kemiskinan, ilmuwan sosial yang menganalisa perilaku
orang kulit hitam telah berulang kali gagal mengindahkan peringatan yang oleh
Williams (1974: 3) disebut sebagai:
Important, however, as variety of information and
interest doubtless are, one factor must take precedence in the scientist's
equipment-the spirit in which he aproaches his scientific work as a whole. In
this respect the point that would probably strike most european or, at all
events, continental scientist is the rarity america of philosophical inquiries
into the foundations of one's scientific position.
(Penting, bagaimanapun, karena berbagai informasi dan
minat yang tidak diragukan adalah, salah satu faktor harus didahulukan dalam
peralatan ilmuwan - semangat di mana ia mengesampingkan karya ilmiahnya secara
keseluruhan. Dalam hal ini, titik yang mungkin akan menyerang sebagian besar
Eropa atau, pada semua peristiwa, ilmuwan di seluruh benua adalah langkanya
penyelidikan filosofis ke dalam fondasi posisi ilmiah seseorang.
Akibatnya,
asumsi dasar kita telah secara konsisten mendistorsi kesimpulan kita. Kenyataan
yang paling tidak substansial seringkali mengundang perhatian kita, sementara
keindahan serta kebaikan yang hidup dalam gaya hidup adaptif orang kulit hitam
yang miskin telah diabaikan atau disalahtafsirkan.
Williams secara langsung mengkritisi hasil penelitian
sebelumnya dengan secara langsung membandingkan dengan bagaimana ia
memperlakukan penelitiannya ini. Sebagai seorang kulit hitam, Williams tidak
sekedar memanfaatkan statusnya sebagai ‘bekal konfrontasi’ dengan penelitian
sebelumnya, namun dengan keterlibatan aktif di gereja dan komunitas Sion,
sebagai bagian dari komunitas kulit hitam namun berusaha menjaga jarak dengan
objek penelitian, Williams menggali apa yang selama ini lalai digali oleh para
peneliti terhadap orang kulit hitam.
Secara metodologis, cara ini efektif untuk mengenal
masalah inti dari suatu kelompok masyarakat. Minako Sakai (2017: 18-19) yang
meneliti tentang identitas orang Gumay di Sumatera Selatan juga menggunakan
metodologi yang sama dalam mengupas identitas dan masalah orang Gumay dalam
perantauan mereka. Sakai menggunakan pendekatan kelembagaan dengan tokoh-tokoh
masyarakat dan membangun persepsi keingintahuan yang sama terhadap
pertanyaan-pertanyaan yang juga dicari oleh kelompok masyarakat tersebut.
Untuk menemukan masalah orang kulit hitam, Williams juga
memberlakukan komunitas sebagai unit penelitiannya. Dengan kreatifitasnya, ia
menerapkan strategi di mana ia turut serta dalam semua aktifitas formal dan non
formal di Sion, Williams bahkan mengikuti acara piknik yang diselenggarakan
oleh ibu-ibu rumah tangga anggota komunitas Sion. Keterlibatan aktif dengan apa
yang dilakukan oleh infroman juga dilakukan oleh Nancy Lee Peluso ketika
melakukan penelitian tentang penguasaan sumberdaya kehutanan di pulau Jawa.
Peluso (2006: 364-373) mengatakan bahwa dengan keterlibatannya pada aktifitas
yang dilakukan oleh komunitas masyarakat di beberapa pinggiran hutan yang
ditetapkan sebagai otoritas Perhutani, ia dapat melihat dan merasakan secara
langsung dari sudut pandang masyarakat, bagaimana persepsi mereka dalam
merespon perubahan situasi dan bagaimana masalah yang ada di benak mereka.
Keterlibatan menjadi kunci penting Williams dalam mencari
tahu masalah orang kulit hitam yang selama ini dianggap kalah dalam kehidupan
perkotaan utara. Ia menepis semua klaim peneliti sebelumnya berkaitan dengan
metodologi yang mereka gunakan dalam meneliti orang kulit hitam. Para peneliti
sebelumnya cenderung menggunakan jarak yang sigfinikan ketika meneliti orang
kulit hitam karena penelitian mereka sudah terfragmentasi oleh bingkai yang
menetapkan bahwa orang kulit hitam identik dengan persoalan kemiskinan,
kejahatan dan lain sebagainya, hal yang membuat mereka mengabaikan akar masalah
orang kulit hitam yang sesungguhnya.
SEJARAH RINGKAS ORANG KULIT HITAM AMERIKA
Williams
memulai dengan gambaran historis orang kulit hitam di Amerika pasca perang
sipil. Kebanyakan berasal dari Afrika, orang kulit hitam menjadi pekerja 'tidak
berguna' di perkebunan Amerika. Mobilitas mereka berlanjut tatkala hukum
perbudakan berakhir. Segera setelah Emansipasi, Orang Kulit Hitam bermigrasi ke
kota-kota Selatan dalam jumlah yang lebih besar, secara proporsional, daripada
orang-orang kulit putih. Selama sepuluh tahun berikutnya orang-orang kulit hitam
secara bertahap pindah ke banyak kota di selatan. Sebelum 1916, sekitar 90
persen orang kulit hitam berada di Selatan, dan dari jumlah ini, 80 persen
tinggal di daerah pedesaan.
Perang
Dunia I mendorong migrasi massal orang-orang kulit hitam ke kota-kota di utara.
Perang itu menciptakan permintaan besar bagi pekerja tidak terampil di industri
utara dan sekaligus mencegah imigrasi normal pekerja tidak terampil dari Eropa.
Migrasi dari Selatan didorong oleh banyak faktor - perampasan ekonomi, tuan
tanah yang tidak bermoral, dan perilaku para pedagang yang eksploitatif.
Setelah gelombang awal migrasi ini menurun, tetapi Kulit Hitam masih pindah ke
kota-kota utara sampai Perang Dunia II, ketika mereka kembali tertarik dengan
industri perang untuk memenuhi kebutuhan militer Amerika Serikat pada perang
tersebut.
Sebagai
akibat dari gerakan geografis yang konstan ini, di antara faktor-faktor lain,
orang-orang kulit hitam jarang menemukan di Dunia Baru kombinasi dari faktor
etnis, ekonomi, sosial, dan politik yang menciptakan dan memelihara komunitas.
Mereka telah menjadi sejarah ketidakkekalan dan ketidakmampuan untuk
mengendalikan nasib mereka sendiri.
Statistik
tentang migrasi internal di Amerika tidak komprehensif. Sebagian besar
informasi harus berasal dari data sensus tentang variasi populasi dari daerah
ke wilayah dan dari dekade ke dekade. Bagaimanapun, menurut Williams, kita
semua tahu bahwa pada tahun 1915 Migrasi Besar Orang Kulit Hitam dimulai di
Amerika Serikat, dan terus berlanjut sejak itu.
GEREJA SEBAGAI ASOSIASI ORANG KULIT HITAM DI PEDESAAN
SELATAN
Williams
menjelaskan bahwa orang kulit hitam di pedesaan wilayah Selatan tidak bersaing
dengan kulit putih secara sosial atau ekonomi. Orang kulit putih secara
paternalistik memperlakukan mereka sebagai bawahan dan mendorong mereka untuk
hidup sederhana, tidak kompleks. Kontak sosial mereka terdiri dari lingkungan
dan kelompok keluarga besar yang bergantung pada anggota mereka sendiri untuk
persahabatan dan dukungan dalam krisis ekonomi dan ketidakpastian.
Hubungan
ini menciptakan suasana ekspresi bebas dan toleransi tanpa batas. Kepemimpinan
sosial sementara dalam kelompok-kelompok kecil yang akrab ini biasanya berasal
dari karisma, dan standar status sosial yang sangat cair. Jadi seorang anggota komunitas
penduduk kulit hitam kecil di daerah pedesaan Selatan menemukan keamanan
sosial, ekonomi, dan psikologisnya terikat pada kualitas hubungan ini, yang
memberi penerimaan kepada identitas pribadinya sejak lahir sampai mati.
Ada
sedikit tekanan pada pencapaian, daya saing, status, prestise, kekayaan, atau
peleburan materi dalam komunitas kecil ini. Penekanannya adalah pada hubungan
keluarga, ritus peralihan, dan berita dari mulut ke mulut yang menarik bagi
keanggotaan. Komponen penting dari komunitas ini adalah keintiman, kebebasan
berekspresi, kontak tatap muka, dan lingkungan sosial dan fisik yang akrab.
Seperti yang dibahas oleh Williams, karakteristik yang sudah akrab ini adalah
bahwa anggota Gereja Sion yang pindah ke Pittsburgh sebelum tahun 1919 berusaha
untuk melestarikan agama mereka.
Williams
mengatakan bahwa gereja adalah asosiasi paling penting bagi sebuah keluarga
kulit hitam di pedesaan Selatan. Gereja dan keanggotaannya sering menentukan
batas-batas komunitas pedesaan. Gereja adalah sarana ekspresi komunitas yang
paling penting, dan orang-orang kulit hitam di pedesaan Selatan membuat
pengorbanan finansial dan material untuk mempertahankannya. Gereja sering
menjadi pusat kegiatan rekreasi, dan bangunannya sering digunakan sebagai
gedung sekolah. Masyarakat pedesaan ini memiliki organisasi untuk saling
membantu, terutama selama kematian dan penyakit menyerang mereka.
Gereja
mengatur kehidupan pedesaan mereka menjadi 'normal' untuk bisa dikatakan lari
dari situasi di mana orang kulit hitam di pedesaan pun hidup dalam
keterbelakangan dibanding masyarakat kulit putih yang umumnya hidup di
perkotaan. Meski begitu, orang kulit hitam yang hidup di pedesaan bagian
selatan memiliki nilai-nilai hidup dan sistem kekerabatan yang cukup baik dan
terjaga.
MIGRASI KE KOTA DAN PERUBAHAN SOSIAL
Migrasi ke
kota-kota menciptakan krisis sosial, karena memisahkan penduduk kulit hitam
dari gaya hidup pedesaan mereka dan menghancurkan organisasi sosial yang
memberi makna bagi masyarakat pedesaan selatan yang memiliki andil dalam
menyatukan mereka sebagai unit-unit sosial. Pada kenyataannya kota-kota di
utara ternyata bukan "tanah perjanjian" yang dicari, tetapi
bagaimanapun itu adalah perbaikan atas kondisi sosial merekadi selatan yang
miskin, yang menjadi musabab mereka 'melarikan diri' ke utara. Rata-rata
penduduk kulit hitam dari pedesaan Selatan ini tidak terampil, dan pekerjaan
mereka pada umumnya terbatas pada pekerjaan-pekerjaan umum, seperti layanan
rumah tangga, dan bagi hasil di perkebunan. Minimnya keterampilan membuat nasib
mereka di perkotaan utara bahkan tidak lebih baik dibanding nasib mereka di
Selatan.
Di
lingkungan kota, keluarga orang-orang Negro dari daerah pedesaan tidak memiliki
basis kelembagaan dan hanya disatukan oleh kerja sama untuk mencari nafkah atau
simpati dan sentimen yang dihasilkan oleh hidup bersama di rumah yang sama,
mereka nyaris tidak mampu bertahan dan sebagian besar dihancurkan oleh kerasnya
kehidupan perkotaan di utara.
Dalam
lingkungan impersonal yang begitu dingin di kota, institusi dan asosiasi yang
telah memberikan keamanan dan dukungan untuk Negro (kulit hitam) di lingkungan
pedesaan tidak dapat lagi dibangkitkan. Masyarakat tidak bisa lagi saling
membantu bahkan untuk mengatasi krisis besar yang paling ditakuti orang-orang
Negro. Bahkan, di daerah kumuh yang padat di kota-kota utara, tetangga dan
persahabatan tidak lagi memiliki arti. Orang Negro tidak dapat lagi menemukan
bahkan kehangatan dan simpati dari organisasi persaudaraan yang telah menjadi
warna dan ornamen ketika berada pada situasi yang menjemukan di Selatan. Krisis
lain yang signifikan dalam kehidupan migran kulit hitam adalah hilangnya gereja
mereka. Gereja telah menjadi titik pusat kehidupan sosial mereka dan sampai
batas tertentu telah memberi makna pada hidupnya, yang sebagian besar
terisolasi dari mainstream Amerika dengan gaya hidup modern yang sangat
kompleks.
Perasaan
keterasingan membuat kekosongan di dalam kehidupan dan proses sosial mereka,
hal yang sama digambarkan oleh Usman Pelly (1994: 13) dalam buku berjudul Urbanisasi dan Adaptasi, buku ini
membahas tentang bagaimana masyarakat Minangkabau dan Mandailing mencoba untuk
bertahan dari tantangan kehidupan di kota Medan, ketika manusia secara individu
merasa jauh dari situasi di mana mereka telah terbiasa dengannya, maka akan
terjadi kekosongan, kehidupan pasca migrasi benar-benar memperkenalkan mereka
dengan kehidupan baru dan orang-orang baru, maka mereka di sisi yang lain harus
mencari alternatif untuk keluar dari situasi tersebut. Satu-satunya cara adalah
kembali melahirkan nuansa di kampung halaman ke kota perantauan, dan yang
paling mungkin adalah berkumpul dengan orang-orang dari tempat asal.
Hal yang
sama terjadi juga pada orang kulit hitam dari selatan seperti yang dibahas oleh
Melvin D. Williams, mereka merindukan suasana selatan ketika harus dihadapkan
pada masalah perkotaan di utara yang serba kompleks. Mereka tidak mampu
mengatasi perubahan total yang begitu kencang di perkotaan, oleh karena itu
mereka membuat rekayasa dengan melibatkan komunitas yang dapat membawa mereka
pada suasana kehidupan di kampung halaman. Dalam hal ini, Sion menghidupkan
kembali gambaran daerah pedesaan di Selatan serta asosiasi religius intim yang
kondusif untuk menciptakan status sebagaimana yang mereka dapatkan di selatan.
Sebagaimana
wilayah urban, ghetto penduduk kulit hitam di perkotaan secara kultur hidup
dengan masalah seks bebas, kehidupan jalanan, pemerkosaan, prostitusi,
perdagangan manusia, alkoholik, narkoba dan masalah sosial lainnya. Tetapi bagi
orang-orang yang temperamen dan kecenderungannya tidak sesuai dengan
orientasi-orientasi itu, isolasi seperti itu sangatlah mengerikan.
Selain
itu, banyak orang kulit hitam telah dipaksa untuk mencari nafkah sebagai
pekerja kasar dan rumah tangga. Dalam banyak contoh, struktur kehidupan mereka
di lingkungan perkotaan belum memasukkan pola asosiasional yang bermanfaat, dan
gereja-gereja dengan banyak ragam aliran telah datang untuk mewakili bagi
mereka adalah bentuk kritis dari kehidupan sosial yang terorganisir, alih-alih
menawarkan keintiman seperti yang mereka harapkan.
Gereja
Kristus Suci (organisasi internasional gereja-gereja di mana Sion berada)
memungkinkan ghetto Orang Kulit Hitam untuk mengatur kembali dan merevitalisasi
ide-ide mereka tentang kultur, dunia, dan diri mereka sendiri. Karena itulah
para anggota berusaha untuk mendirikan sebuah gereja yang secara intim milik
mereka, sebuah gereja di mana mereka adalah para pemain daripada penonton.
Perasaan
untuk merasa terlibat dalam proses sosial dibanding harus terpuruk dan
termarjinalisasi adalah sumber depresi utama para migran. Alba dan Nee (2003:
57) mengatakan bahwa sumber dari masalah para migran adalah perasaan di mana
mereka tidak terlibat dalam perputaran kehidupan di lingkungan barunya.
Alih-alih terlibat, mereka justru termarjinalisasi dalam hal keterjangkauan
terhadap akses-akses tertentu di lingkungan baru tersebut. Akibatnya, muncullah
masalah-masalah sosial yang secara berkesinambungan menjadi prototype yang secara umum menggambarkan
kehidupan para migran tersebut di lingkungan barunya. Mereka butuh dinamika,
situasi di mana mereka juga menjadi ‘pemain’ dalam proses sosial.
Williams
menggambarkan bahwa dinamika adalah sesuatu yang dibutuhkan oleh orang kulit
hitam, karenanya keintiman kelompok utama di Sion juga mengisi komunitas ini
dengan kecemasan, tekanan, ketakutan, kecemburuan, dan persaingan yang
diekspresikan dalam hubungan anggota-ke-anggota. Pada saat yang sama, ia
memberikan cara hidup yang bermakna, menarik, memakan waktu, dan menyerap
energi. Ambivalensi yang intens membuat hubungan ini sangat menarik bagi para
anggota. Mereka mengekspresikan minat itu dan bereaksi terhadap dinamika
kelompok melalui gosip, pembagian, dan ancaman perpecahan. Mereka melepaskan
emosi yang dihasilkan oleh tekanan dan kecemasan dari hubungan intim ini
melalui pembersihan pada ibadah gereja. Dengan demikian dinamika yang
berpotensi mengganggu ini dipertahankan pada tingkat yang dapat ditoleransi
oleh masyarakat.
Menurut
pendapat Williams, bahwa dinamika yang intens dari hubungan-hubungan ini di
Sion menciptakan suatu komunitas vital yang begitu menyerap minat anggota yang
dapat mereka habiskan seumur hidup di Sion, dalam suatu subkultur yang mereka
sendiri relatif terisolasi dari masyarakat yang lebih besar. Sebagian besar
anggota dan semua anggota inti menghabiskan sebagian besar setiap hari untuk
membahas, memikirkan, atau bekerja untuk Sion. Dengan demikian kualitas
interaksi yang umum di antara orang-orang "miskin" ini diintensifkan
di Sion untuk menciptakan komunitas yang layak dalam konteks urban yang aneh
dengan cara kombinasi keintiman di daerah Selatan, doktrin cinta Alkitab, dan
konsepsi yang diidealkan. peran dalam keluarga Amerika. Ini adalah dasar bagi
subkultur mereka; ini telah menentukan struktur sosial mereka; ini pada
dasarnya telah menciptakan komunitas. Jika dapat mendefinisikan komunitas
sebagai interaksi yang terpola di antara kelompok individu yang digambarkan
yang mencari keamanan, dukungan, identitas, dan signifikansi dari kelompok mereka,
maka Sion adalah sebuah komunitas dan juga sebuah gereja.
KESIMPULAN
Williams
mengatakan bahwa penelitannya mengkhususkan perhatian pada ghetto Pantekosta
kulit Hitam miskin yang bermigrasi dari daerah pedesaan di Selatan, tetapi
perhatian utamanya adalah pada perilaku manusia. Ia juga mengatakan bahwa ada
Pertanyaan-pertanyaan yang diteliti dan dikhawatirkan belum sepenuhnya dijawab
di buku ini, tetapi telah diklarifikasi dan digariskan sampai batas tertentu.
Williams
prihatin tentang hubungan antara kehidupan kemiskinan, Kulit Hitam, ghetto dan
masyarakat luas. Ia telah mencoba untuk menguji sifat interaksi yang
menciptakan kehidupan yang hidup terlepas dari ekonomi dan apa yang disebut
perampasan sosial. Williams berpikir bahwa dengan mencoba menggabungkan diri ke
dalam pengalaman keanggotaan Sion dan menemukan bagaimana mereka berpikir dan
apa yang mereka rasakan, ia akan menemukan beberapa petunjuk mengapa nilai yang
diagungkan oleh masyarakat umum di luar Sion bukan satu-satunya jalan menuju
kebahagiaan manusia, dan mengapa sub-kelompok manusia di Masyarakat Amerika memiliki
potensi untuk menentukan sendiri kepuasan khusus dalam hidup.
Tentunya semua komunikasi dan
transmisi pesan-pesan subkultural akan memberikan indikasi perkembangan budaya
yang unik dan proses sosial vis-a-vis proses Amerika pada umumnya. Sion tidak memiliki
sistem nilai yang terpisah. Banyak cita-cita mainstream seperti
pernikahan, stabilitas, pencapaian, mobilitas, pekerjaan, dll. dijalankan.
Hirarki organisasi dan sistem penghormatan berdasarkan status, prestise, dan
kepemilikan material adalah cara-cara Amerika pada umumnya, namun begitu yang
membedakan adalah konten simbolis mereka.
Perspektif
arus utama dan transvaluasi ini, ditambah dengan kekhususan Sion sendiri,
memberi Williams beberapa bukti etnografi tentang subkultur apa yang ada di
masyarakat modern. Ini mengarahkan perhatiannya pada pertanyaan tentang apa
yang membuat Sion menjadi sebuah komunitas, Williams merasa harus ada pola
interaksi yang mendukung konsepsi kelompok ini tentang diri mereka sebagai
sesuatu yang unik, "berbeda," "aneh." Ia harus menemukan
metode bagaimana mereka memotivasi dan menghargai untuk memahami bagaimana
mereka mengabadikan komunitas ini selama lima puluh empat tahun. Bahkan setelah
ia mengumpulkan banyak data, Williams masih ragu bagaimana itu menjelaskan fenomena
sosial Sion.
Tugas Sion
yang penting menurut Williams adalah untuk mengasimilasi jarak sosial yang
biasanya menyertai mobilitas sosial dengan kasih, persekutuan, dan kesetaraan
yang akan membangun dan memelihara kohesi Sion. Tugas ini menuntut upaya Sion
yang gigih untuk memerangi jarak sosial dan mempromosikan kohesi di antara
anggotanya.
Williams
mengakui, mungkin ia telah menggambarkan fenomena ini secara cukup untuk
membawa pembaca ke posisi yang telah ia capai dengan keterlibatan personal.
Namun demikian, menurut Williams, dengan analisis perilaku manusia selalu ada
risiko perspektif yang tidak cukup memperhitungkan semua variabel dan
kemungkinan untuk menjawab semua pertanyaan ketika penelitian dimulai.
Dengan
demikian, Sion adalah salah satu entitas sosial yang diciptakan oleh tekanan
dan ketegangan orang-orang yang terkilir dari daerah pedesaan di Selatan yang
menetap di daerah utara perkotaan. Sebagai komunitas kecil yang dinamis dan
interaksional, ia tidak hanya memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan
anggota aslinya, tetapi juga karena kemampuannya untuk menarik kaum kulit hitam
miskin lainnya yang temperamen, karakter, kemampuan, dan perspektif hidupnya
lebih cocok ke gereja ini daripada ke subkultur lain yang tersedia di ghetto
kulit hitam di Pittsburgh.
Bagi
Williams, kemiskinan bukanlah persoalan utama masalah orang kulit hitam,
sebagaimana yang selama ini diklaim oleh para akademisi melalui publikasi hasil
penelitiannya terhadap ghetto atau masyarakat kulit hitam Amerika. Kemiskinan
hanya berperan kecil dari masalah penduduk kulit hitam yang serba menjadi
'senjata' dalam praktik politik Amerika secara umum. Bukan itu! Orang kulit
hitam membutuhkan sebuah komunitas dan keintiman yang menjadi kehidupan mereka
di selatan. Ini sangat berbeda dengan bagaimana orang Amerika umumnya.
REFERENSI
Alba, R.,
& Nee, V. (2009). Remaking the American mainstream: Assimilation and
contemporary immigration. Harvard University Press.
Pelly, U.
(1994). Urbanisasi dan adaptasi: Peranan misi budaya Minangkabau dan
Mandailing. Pustaka LP3ES Indonesia.
Peluso,
N. L. (2006). Hutan kaya, rakyat melarat: Penguasaan sumber daya dan perlawanan
di Jawa. Simatupang L, penerjemah.
Sakai, M.
(2017). Kacang Tidak Lupa Kulitnya: Identitas Gumay, Islam, dan Merantau di
Sumatra Selatan. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Williams,
M. D. (1974). Community in a black Pentecostal church: An anthropological
study. Waveland Press.
0 Komentar